.
.
.
.
Napas Laisa tertahan di tenggorokan, mata hazelnya melebar, begitu melihat Angkasa berdiri tak jauh dari tempat Laisa. Lelaki itu bahkan masih menggendong bayi berselimut pink yang Laisa yakin adalah anak mereka.
Seluruh kerinduan dan harapan yang semula menghantam dadanya kini pergi entah kemana. Menguap bersama hembusan napas di sekitar mereka. Angkasa memang masih berstatus sebagai suaminya, ayah dari anak yang kini ada di pangkuannya. Laisa melirik anaknya sekilas, bayi merah itu mulai mengantuk, namun mulut mungilnya masih tetap menempel di dadanya.
Mereka membisu, hanya deru napas yang menguar mengikat kata-kata yang sudah berada di ujung bibir. Laisa mulai gelisah, ingin sekali dia menunjukkan bayinya pada lelaki yang saat ini tengah memandangnya lekat. Namun sudut hatinya yang lain masih takut, jika saja Angkasa menolak anaknya.
Laisa menarik napas pelan, mengancing bajunya perlahan kemudian membenarkan posisi duduk dan tidur bayinya.
"Kau di sini, Ang?" Ini pernyataan, Laisa tahu itu. Namun permulaan seperti apa yang bisa dia lakukan sekarang. Gerbang perpisahan sudah berada di depan mata. Tak layak dia mengais cinta Angkasa lagi, toh nanti dia juga yang akan menanggung rasa sakit itu sendirian.
"Kau tak ingin melihat bayi kita?" tanya Laisa tak sabar begitu melihat Angkasa hanya terdiam.
"Kemarilah, Ang, lihatlah dia. Dia sangat ta--"
"Sayang, kamu di mana?" Suara wanita dari balik kelambu menghentikan kalimat Laisa.
Laisa mendesah kecewa, tidakkah mereka berdua sama-sama tengah melahirkan benih dari Angkasa, jadi sudah seharusnya dia dan anaknya juga mendapat hak yang sama seperti apa yang wanita itu dapatkan.
"Aku di sini, sayang."
Laisa menggigit bibirnya, bahkan untuk menjawab pertanyaannya Angkasa pun enggan.
"Ada apa, sih, Pa? Ayo kita pulang, Anggi sudah menunggu kita."
Angkasa memandang Laisa dan bayinya sekali lagi sebelum dia melangkahkan kaki meninggalkan mereka. "Ayo kita pulang."
Setitik air turun dari ujung mata Laisa, hatinya serasa dicubit berulang kali. Mereka sudah di sini, dalam ruang dan keadaan yang sama, namun Angkasa sama sekali tidak ada hasrat untuk menengok bayinya. Jangankan menanyakan bagaimana keadaanya, jenis kelamin anaknya saja Angkasa enggan mengetahuinya. Lelaki itu seakan menulikan telinga tentang apa yang kini tengah terjadi pada Laisa dan bayinya.
"Maafkan papamu, sayang. Mama yakin dia pasti menyayangimu juga." Laisa mengecup dahi bayinya. Meletakkan bayi mungil itu di sampingnya, Laisa merebahkan dirinya lagi. Biarlah dia menenangkan dirinya sebentar, dia tidak sendirian, ada bayinya yang sedang membutuhkan perhatiannya. Laisa perlahan memejamkan matanya dengan tangan kanan memeluk bayinya erat.
*****
"Siapa namanya? Apa kau sudah memikirkan nama yang keren untuk keponakanku ini?" Erly sedang menggendong bayi Laisa ketika sang ibu sedang menikmati makan malamnya.
"Belum, aku hanya punya beberapa nama yang tinggal dipilih. Nanti bantu buat menyusun nama anakku ya?" Laisa menyendok sesuap nasi ke dalam mulutnya.
"Tentu," Erly terdiam memandang Laisa, dia terlihat ragu namun harus mengatakannya. "Aku melihat Angkasa di rumah sakit ini ketika kau melahirkan."
Sendok yang sudah di ujung bibirnya kini melayang, Laisa meletakkan sendok yang penuh dengan nasi itu kembali di atas piring.
"Inggi melahirkan, tadi mereka baru saja pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Quest - Bukan Istri Pilihan - Lipstik Di Leher Suamiku [Telah Terbit]
ChickLitPernikahan yang dulu selalu Laisa impikan bak cerita dongeng, kini tak lagi indah. Semuanya baik-baik saja hingga suatu ketika impian tentang keluarga bahagia itu terenggut oleh kebodohan pasangannya sendiri, Angkasa. Mau tak mau Laisa harus menelan...