Bagian 4

6.1K 564 17
                                    


Laisa terbangun dengan mata yang masih setengah terpejam, tangannya tanpa sengaja meraba bantal di sebelahnya dan mendapatinya masih kosong. Laisa menghela napas panjang, Angkasa tidak pulang lagi, sudah sebulan ini Laisa tidur sendirian.  Mungkin dia menginap di rumah wanita itu. Kemana lagi? Hati Laisa memanas seketika, membayangkan hal apa saja yang dapat mereka lakukan. Setetes air mata kembali jatuh, untuk yang kesekian kalinya. Menangisi lelakinya, nasib pernikahannya yang berada di ujung tanduk. Laisa bingung, bagaimana dia akan melanjutkan rumah tangganya sementara Angkasa tidak pernah menghubunginya sejak siang itu. Laisa masih butuh Angkasa, butuh penjelasan lelaki itu.

Laisa terbangun untuk mengambil segelas air minum di nakas, meneguknya separuh kemudian berbaring lagi. Mencoba untuk memejamkan matanya, juga menidurkan hati dan pikirannya yang kacau.

"... dia memang istriku."

"Maafkan aku, Lais. Tapi dia sedang mengandung anakku."

Kata-kata Angkasa menggema di gendang Laisa. Bak nyanyian malam yang menyayat hatinya, semakin dalam, dan perih. Laisa menangis lagi, untuk kesekian kalinya karena suaminya. Hingga Laisa kelelahan dan tertidur.

Pagi harinya Laisa masih bertahan di dalam kamar, tak menghiraukan tumpukan baju kotor yang menunggu untuk dicuci. Bahkan dapur yang selalu menjadi tempat favoritnya tak lagi dia sentuh. Seluruh tubuhnya seakan sulit untuk dia gerakkan. Laisa bahkan tak ingat kapan terakhir kali dia menelan makanan.

Laisa bangun menuju kamar mandi, menuntaskan kebutuhannya. Lalu kembali berbaring di atas ranjang, hanya berbaring sepanjang hari. Menerawang awal kehidupan rumah tangganya dahulu, hingga jalan pernikahannya kini. Laisa mengernyit ketika merasakan perut bagian bawahnya seperti  ditusuk-tusuk. Sekujur tubuh Laisa berkeringat menahan rasa sakit, namun nyeri itu semakin kuat. Laisa meraih ponselnya yang tergeletak di samping tubuhnya, kemudian berusaha menghubungi Angkasa. Lama Laisa mencoba berkali-kali, tapi nomor suaminya masih tidak aktif. Laisa semakin frustasi, kemudian dia menghubungi Erly.

"Erly," panggilnya begitu teleponnya tersambung, "tolong datanglah ke rumahku sekarang. Aku ... perutku ... sakit. Bawa ... aku ... ke ... dokter ...."

Laisa meringis, perutnya seperti dililit. Laisa berusaha untuk tetap tersadar hingga Erly datang. Dan waktu tiga puluh menit untuk menunggu sangatlah menyiksa bagi Laisa, tapi dia sedikit lega. Karena bantuan telah datang dari sahabatnya itu.

"Terima kasih, Er," lirih Laisa sebelum dia tak sadarkan diri.

****

Laisa menatap gambar hitam putih di tangannya. Seharusnya dia bahagia, seharusnya mereka menyambutnya dengan suka cita. Tapi Laisa kini justru merasa bingung dan sedih. Ini impian kita, Ang. Aku berhasil mewujudkannya, aku bisa, Ang!! Dimana kamu? Aku membutuhkanmu. Laisa menangis seraya mengusap lembut foto itu. Adilkah ini? Batin Laisa bergejolak.

"Cari dia, katakan padanya."

"Tidak, jangan cari Angkasa. Biarkan saja dia tidak tahu, toh dia sudah bersama wanitanya."

"Tapi Angkasa harus tahu!"

"Bukankah sebulan ini dia mengacuhkanmu? Dia tak peduli padamu, biarkan saja."

Laisa semakin bingung apa yang akan dia lakukan kemudian. Dewi batinnya saling beradu argumen, dan itu semakin membuat Laisa bingung. Jangan ditanya bagaimana perasaannya kini. Di satu sisi dia sangat marah, bahkan membenci Angkasa. Namun di sisi lainnya dia juga membutuhkan Angkasa. Laisa kembali meringis ketika rasa nyeri merambat di perutnya lagi. Laisa mengusap perutnya  itu secara perlahan, berusaha meredakan rasa nyeri yang mulai menghilang.

The Quest - Bukan Istri Pilihan - Lipstik Di Leher Suamiku [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang