.
.
.
Tiga pasang mata menatap Angkasa meminta penjelasan. Sedangkan Laisa sendiri masih betah berlama-lama menatap ujung kakinya, enggan menerka reaksi Angkasa. Sepuluh menit mereka semua hanya membisu, menunggu jawaban Angkasa.
"Ehm, kami memang berencana untuk mengakhiri pernikahan kami, Mas."
Hening, semua orang sedang mencerna kembali ucapan Angkasa.
"Tapi bagaimana dengan anak kalian?" Nadin tak sanggup meneruskan kata-katanya. Bayangan seorang anak lelaki yang tumbuh tanpa seorang ayah membuat dadanya sesak.
Laisa memberanikan diri melihat wajah Angkasa, menikmatinya sembari menunggu dia melanjutkan penjelasannya.
"Perceraian ini sudah terencana sebelum Lais hamil, mbak. Ada sesuatu yang tidak bisa kami jelaskan yang membuat kami harus memutuskan untuk berpisah."
Wajah Rey memerah, napasnya naik turun menahan amarah yang siap meledak kapan saja. Jadi ini penyebab Laisa tidak menghubunginya? Tidak sempat membagi kebahagiaan dengannya? Rey menatap iba pada Laisa yang hanya terdiam memandang suaminya.
"Apa alasan itu? Katakan, Ang? Aku tidak mau adikku menjadi janda hanya karena keegoisanmu!"
Angkasa mendesah kecewa, "bukannya sudah kukatakan, mas, ada sesuatu yang tidak bisa kami jelaskan pada kalian. Kami sudah tidak cocok lagi, jadi kami memilih untuk berpisah."
"Benarkah seperti itu, Lais?" Rey menatap adiknya, mencari pembenaran dari penjelasan Angkasa.
Laisa mulai gusar, bagaimanapun ini aib keluarganya. Tapi penjelasan yang sedangkal itu tak akan membuat Rey melepaskan Angkasa begitu saja. Butuh penjelasan yang panjang kali lebar kali tinggi agar Rey bisa meluluskan rencana Angkasa. Laisa menarik napas dalam sebelum menatap wajah-wajah yang dipenuhi rasa ingin tahu itu.
"Ang punya istri lagi, wanita itu--"
BUGGHH!!!
Laisa menjerit histeris begitu Rey memukul Angkasa membabi buta, meremukkan tulang-tulang Angkasa. Semua orang berdiri dengan tatapan terkejut dan bingung. Nadin seketika menutup mata Alexa, berdiri menjauhkan putrinya dari pemandangan yang seharusnya melalui garis sensor itu. Sementara Erly, sudah bersiaga di samping tubuh Rey dan Angkasa. Mempersiapkan diri jika saja Rey menyuruhnya untuk ikut serta dalam adu pukul gratis.
Laisa memejamkan mata, kedua tangannya masih sibuk menutupi telinga Maher, namun melihat Angkasa yang hanya diam menerima semua pukulan yang bertubi-tubi menyarang di wajah dan tubuhnya tak membuat hati Laisa puas. Justru rasa sakit yang sama seperti yang Angkasa rasakan yang Laisa terima.
"Berhenti!!!"
Sebelah tangan Rey masih menggenggam ujung kerah kemeja Angkasa, sementara tangan kanannya melayang di udara, persis di atas hidung Angkasa.
"Jangan pukul dia, mas. Hentikan!!" Laisa memejamkan mata, menghalau titik bening yang ingin keluar.
Rey meletakkan tubuh lemah Angkasa di lantai begitu saja, dia beralih menuju dapur mengambil segelas air, meneguknya hingga tandas. Kemudian dia kembali menuju ruang keluarga, tempat dia mengamuk tadi.
"Kau tidak apa-apa, Ang?" tanya Laisa cemas.
Laisa menyerahkan Maher pada Erly, menyuruhnya membawa ke kamar melalui isyarat mata, kemudian berlari menyeberangi meja, menghampiri Angkasa yang mulai berdiri dengan susah payah. Memberanikan diri menyentuh lengan dan pundak Angkasa, Laisa membantu Angkasa untuk duduk di atas sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Quest - Bukan Istri Pilihan - Lipstik Di Leher Suamiku [Telah Terbit]
ChickLitPernikahan yang dulu selalu Laisa impikan bak cerita dongeng, kini tak lagi indah. Semuanya baik-baik saja hingga suatu ketika impian tentang keluarga bahagia itu terenggut oleh kebodohan pasangannya sendiri, Angkasa. Mau tak mau Laisa harus menelan...