~ Pantulan Cahaya ~

86 3 0
                                    

Keesokan harinya, Pak Tejo sudah terbangun pukul 2 pagi. Beliau menyiapkan semua hal yang diperlukan dalam perjalananya kali ini. Benda-benda yang beliau siapkan antara lain, tali, kait pemanjat, sarung tangan, minuman serta sedikit buah. Setelah selesai menyiapkan semua kebutuhanya, beliau berjalan menuju kamar tempat Dika tidur. Beliau membuka pintu kamar tesebut. Sejenak ia menatap dalam wajah Dika yang sedang tertidur, beliau teringat sosok kakaknya yang sudah pergi merantau sejak muda. Wajah Dika sangat miri dengan wajah kakaknya. Kemudian, beliau berjalan menuju Dika dan perlahan menepuk lenganya dengan halus.

"Dek Dika, bangun, sudah jam setengah 3" kata Pak Tejo.

"Hmmm, iya Pak masih ngantuk saya" kata Dika sembari menarik selimutnya lebih tinggi.

"Lho, katanya mau berangkat cepet, biar nggak kelewat matahari terbitnya" kata Pak Tejo.

"Hoaaaaaaam... Iya iya Pak" kata Dika sembari mencoba untuk duduk.

Saat itu memang merupakan waktu paling nyenyak dalam tidur mayoritas orang, termasuk Dika. Sehingga rasanya sulit sekali untuk bisa membuka matanya dengan lebar saat itu. Setelah berhasil dukuk, Dika masih belum bisa membuka matanya dengan lebar lantaran rasa kantuk yang luar biasa. Dika mencoba berdiri dan berjalan. Ia berjalan ke arah yang tidak jelas. Di depanya bukanlah pintu kamar melainkan sebuah lemari. Pak Tejo hanya diam melihat Dika berjalan ke arah lemari.

DUKK... suara dahi Dika menabrak lemari tersebut.

"Aduh!" teriak Dika.

"Hahaha, nggak papa kan Dek? Yang penting kamu bisa melek, bisa sadar" kata Pak Tejo.

"Haha, iya Pak" jawab Dika.

"Ya udah ayo siapin barangmu, kita berangkat" kata Pak Tejo.

"Oke Pak, tak raup dulu" sahut Dika.

Setelah Dika selesai cuci muka, ia mengambil ranselnya yang ada di kamar lalu berangkat bersama Pak Tejo. Pagi itu adalah pagi yang sangat dingin. Hawa dinginya terasa menembus jaket tebal Dika. Dinginya dapat dikatakan menusuk sampai ke tulang. Dika pun tak henti-hentinya mengusap-usap telapak tanganya untuk menjaganya tetap hangat. Sementara, Pak Tejo yang sudah terbiasa hanya berjalan dengan santai. Mereka berjalan melalui jalan yang sama seperti kemarin. Di tengah perjalanan mereka seringkal menemui para petani yang memang sudah biasanya berankat pagi-pagi buta. Di tengah perjalanan mereka berbincang-bincang mengenai beberapa hal.

"Kamu sudah berapa lama tinggal di Jakarta dek?" tanya Pak Tejo.

"Saya sudah dari lahir Pak di Jakarta" kata Dika.

"Keluargamu dulunya ada yang orang rantau nggak dek?" tanya Pak Tejo.

"Ada Pak, kakek saya orang rantau, beliau orang pertama di keluarga saya yang datang ke Jakarta" jawab Dika.

"Sekarang beliau dimana?" tanya Pak Tejo.

"Saya nggak tau Pak, beliau cerai sama nenek saya waktu nenek saya mau ngelahirin Ibu saya" jawab Dika.

"Lha nenekmu ndak pernah cerita apa dek?" tanya Pak Tejo.

"Nggak pernah pak, nenek saya bahkan nggak pernah mau ngasih tau nama kakek saya, katanya bakalan ada sesauatu nggak enak nantinya" jawab Dika.

"Oh gitu ya, kakak saya juga orang rantau, beliau merantau ke Jakarta dan sampe sekarang belum pulang" kata Pak Tejo.

"Sudah berapa lama Pak?" tanya Dika.

"Sudah dari jaman beliau muda dek" jawab Pak Tejo.

"Ohh gitu ya Pak" sahut Dika.

"Jadi gini dek, masalah harta yang kamu cari selama ini, kata kakek buyut saya, kakek buyut kita, beliau sudah titipkan satu rahasia besarnya sama bapak saya, beliau berpesan hanya boleh ada satu orang setiap generasi yang tahu rahasia ini, sampai salah satu dari mereka menemukanya. Bapak saya juga ngasihkan rahasia itu, tapi sama kakak saya. Jadi saya tau rahasia itu ada, tapi nggak tau isinya. Tapi kakak saya pergi merantau, entah kemana dia ngasihkan rahasia itu sebelum dia nggak ada" kata Pak Tejo.

The Lost TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang