4

43 5 2
                                    


Hari ini waktu terasa berjalan lebih cepat, bagai bus yang berlaju dengan cepat untuk  menjemput para penumpangnya. Cuacanya stabil, tidak sedingin kemarin, tidak sepanas minggu lalu. Kini seorang gadis tengah berjalan di tengah keramaian, sembari mengendong tas ransel biru dengan tangan kanan yang sedari tadi memegang minuman dingin. Mulutnya sibuk berbicara dengan sahabatnya.

"Jadi, anak tengil yang nyium lo itu mau ketemuan sama lo nanti malem? Lo nggak salah?" tanya Radin memastikan. Matanya terbelalak, dari awal Salma memang sudah menceritakan tentang anak itu.

"Ya nggak, lah, masa salah. Gue yakin, kok mau ketemu dia" ucap Salma yakin, setelah itu kembali menyeruput pop ice nya.

"Emang lo gak malu? Kalo yang dulu dibahas lagi, gimana?" tanya Radin yang kini membuat Salma berpikir dua kali. Tapi, mana mungkin juga Salma harus membatalkan pertemuan nanti hanya karena sebuah alasan konyol itu, hanya sekedar takut malu.

"Yaelah, gak bakal dibahas, kok, lagian gue udah bilang Ayah kalo kejadian itu gausah di bahas- bahas, jadi gue gausah takut malu" jawabnya enteng.

"Tapi kalau yang ngasih tau−"

"Aduh Radin cantiik, tenang yaa, kan yang ketemuan gue bukan lo, jadi gausah repot- repot mikirin, oke? Lagian bakal baik-baik aja, toh kalau pun dibahas gue ini yang malu," ujarnya memotong pembicaraan sahabtnya itu.

Memang pada dasarnya Salma harus menerima resiko apapun itu, karena dari awal dialah yang pertama ingin menemui Raka. Namun kebetulan Ibunya Raka berpikiran sama, jadi sangat mudah untuk bertemunya, tidak harus memaksa- maksa.

Siang itu, Salma pulang sendiri, tadi pagi Pak Ardi memberitahu bahwa untuk hari ini Pak Ardi tidak bisa menjemputnya karena ada urusan dengan keluarganya.

Salma berjalan menyusuri trotoar di sepanjang jalan raya. Pepohonan di sana amat menyejukkan, sebagian dedaunan berguguran di beberapa pohon. Langitnya juga cerah, namun tidak bagi perasaannya saat ini, yang harus menerima resiko untuk kembali ke rumahnya sendiri tanpa ditemani siapapun, tentu saja ini untuk pertama kalinya.

Salma tidak memilih pulang dengan menaiki bus atau ojek, ia lebih memilih berjalan kaki, karena jarak dari sekolah ke rumahnya tidak begitu jauh, untung- untung olahraga siang pula.

Salma berjalan dengan santai, menikmati suasana jalan raya yang tidak teralu ramai. Saking santainya, langkahnya pun dilewati oleh seseorang yang nampaknya dari tadi membuntuti gadis itu. Matanya melirik penasaran, ia pun mendapati Raka yang kini berjalan sejajar dengannya. Raka tidak peduli, pandangannya lurus kedepan, kedua telinganya di sumpal oleh sepasang headset hitam miliknya. Tubuhnya gagah dengan diselimuti jaket berwarna biru dongker itu. Salma beerjalan mengikuti langkahnya, hingga mereka benar- benar sejajar. Namun Raka tidak sadar juga. Sepertinya lagu yang sedang ia putar adalah lagu favoritnya.

"Ka Raka, Ka Raka!" Salma menepuk pundaknya, berhrap lelaki itu sadar akan kehadirannya.

"Eh lo, kenapa?" ujarnya yang kini berhenti melangkah dan menatap Salma setelah melepas satu headsetnya.

"Ka Raka jalan kaki? Bukannya biasa naik motor ya?" tanya Salma yang mati topik dan untungnya pertanyaan itu muncul di benaknya.

"Motor gue lagi di bengkel, lagian sesekali gak apa lah jalan kaki" ucapnya dengan sedikit senyuman yang dapa meluluhkan para kaum hawa, tapi tentu saja itu tidak bagi Salma.

"Ohh, yaudah jalan lagi"

Mereka berjalan bersama, tanpa saling berbicara untuk beberapa menit.

"Rumah lo dimana? Kok, tumben juga jalan sendiri, emangnya gak takut digdain kayak waktu itu lagi?" ujarnya penuh tanya. Raka melepakan headsetnya dan menaruh di saku celananya.

"Deket, kok dari sini. Hehe, sopirnya lagi ada urusan jadi disuruh pulang sendiri. Digodain? Engga, lah, kan ada Kak raka ini,"

"Eh maksudnya," Salma begitu gugup, bagaiman mungkin ia bicara seperti itu pada Raka. Menggangap bahwa dirinya merasa aman jika berada di samping lelaki itu. Bagaiman juga kalo Raka berpikir yang macam- macam pada Salma.

"Cewek itu harus bisa ngelawan, jangan cuma ngandelin cowok lain buat jadi tameng. Kan, gak setiap saat juga gue ada di samping lo" ucap Raka yang membuat Salma kehabisan kalimat untuk menjawab.

"Engga, kok. Tadi bercanda doang yaelah. Gue juga bisa jaga diri, kok" jawab Salma yang kini menggunakan kata 'gue', bukan lagi 'aku' seperti kala pertama mereka bertemu di halte.

"Gue? Lucu banget, waktu itu ngomongnya aku deh perasaan"

"Kan waktu itu belum kenal"

"Emang sekarang udah?"

Salma terdiam malu, walau ia tau lelaki itu hanya bercanda dengan senyuman yang diakhiri Raka.

Dua anak manusia itu tampak begitu lelah, terlihat jelas pada wajah mereka yang bercucuran keringat. Untuk kedua kalinya Salma berbicara dengan Raka, ia bisa menilai bahwa Raka adalah orang yang serius, dan tentu saja Salma selalu kalah bicara dengannya, selalu saja skakmat.

"Eh minum dulu yuk, keringat lo udah banyak tuh, pasti haus" ucap Raka yang melihat seorang pedagang minuman dingin di sisi jalan.

Mau tidak mau Salma menuruti keinginanya. Tapi benar juga, saat itu memang Salma sedang kehausan.

Mereka bersinggah, duduk di sebuah kursi kayu sambil menikmati minuman dingin.

Salma merasakan suasana yang amat garig, tidak ada diantara mereka yang mulai untuk bicara. Keduanya sibuk meminum segelas es.

"Kak Raka, kok Kak Raka pindah di kelas dua belas, sih? Kan tanggung" ujar Salma yang angkat bicara untuk memecahkan kesunyian.

"Dari awal emang gue tinggal di Jakarta, Cuma waktu bokap sama nyokap pisah, gue jadi harus ngikut bokap ke Surabaya. Tapi pas gue SMA, gue mulai gak betah disana, ya karena faktor bokap juga sih yang terlalu sibuk, dan akhirnya gue minta buat balik ke Jakarta untuk tingga bareng nyokap, tapi kata bokap tunggu kelas dua belas semester dua, gue mikirnya jua tanggung, cuma ya gimana lagi demi ketemu nyokap gue di jakarta" jelas raka panjang lebar. Salma hanya mendengarkan sambil menatapnya, dan yang ada di pikirannya sekarang adalah tetang kedua orang tua Raka. Ia merasa kasihan dengan Raka, namun dirinya pun seperti itu. Ayahnya memang terkadang memiliki sifat yang baik dan penyayang. Namun di sisi lain, terkadang sikap egoisnya muncul. Bahkan pernah sampai Salma benar- benar ingin minggat dari ruamh hanya karena sifat Ayahnya yang egois itu.

"Ohh gitu," ucapnya seraya mengangguk mengerti.

Keduanya berdiri. Raka mengambil dompet di saku belakang celananya, mengambil dua lembar uang lima ribu dan membayarnya.

"Kok ba−"

"Gue yang bayar".

Mereka kembali berjalan. Hingga di suatu persimpangan, mereka berpisah. Salma melambaikan tangannya kemudia di balas oleh Raka dengan senyuman.

Ia berselonjor santai di atas sofa ruang tamu, sambil menyaksika acara televisi yang tidak jelas itu, dan lama kelamaan ia tertidur setelah habis meminum teh hangat yang ia buat tadi.

Hari yang melelahkan, namun membawa sedikit kenangan.

 #Segini dulu, sorry kalau banyak typo =)

Bow-FriendWhere stories live. Discover now