Kampus masih tergolong sepi pada pukul 07:00 pagi ini. Aku masuk kedalam ruang kuliah yang berada dilantai dua gedung bagian utara kampus, menuju kursi yang terletak dua baris paling belakang dan meletakkan tas dibawah kursi. Aku mengamati sekeliling, hanya segelintir mahasiswa yang sudah datang, Yoga belum kelihatan batang hidungnya. Biasanya, dia akan datang pukul 07:30 atau kurang sedikit sebelum mata kuliah Pengantar Ekonomi Mikro dimulai. Dengan santai, aku mengeluarkan iPod, mulai mendengarkan lagu-lagu yang ada didalamnya. Sebuah lagu dari James Arthur - Say You Won't Let Go mengalun mendayu-dayu, membuat perasaanku makin tidak karuan. Aku bersandar dipunggung kursi, berusaha memejamkan mataku, berusaha melupakan apa yang telah terjadi tadi malam. Mataku terasa perih, akibat tidurku yang tidak nyenyak semalam. Otak ini masih tidak dapat memercayai apa yang terlah terjadi.
Kemarin sore, Gaby tiba-tiba datang kerumah. Menemuiku. Aku sedang berada didalam kamar, saat pembantuku mengatakan bahwa ada seseorang yang datang mencariku.
"Gaby?" sapaku terkejut.
"Ada apa?" Aku mempersilahkan dia duduk diteras depan.
"Cuman mau mampir sebentar, kebetulan lewat sini. Tadi disuruh Mamaku beli kue. Nih, sekalian aku bawain buat kamu."
Aku menerima bungkusan kue dari tangan Gaby dengan bingung.
"Terimakasih. Tapi, kenapa lo repot-repot gini?"
"Gak repot kok, sekalian beli juga. Suka kue spiku gak?" ucapnya menyebutkan kue tiga lapis yang berwarna kuning dibagian atas dan bawah, berwarna cokelat dibagian tengahnya, yang dilapisi selai disetiap susunnya.
"Suka banget. Beli dimana?" sahutku antusias, mengingat kue yang berasal dari Belanda itu yang terkenal dengan teksturnya yang sangat empuk dan halus karena terbuat dari banyak telur dan mentega dengan kualitas yang bagus sehingga menghasilkan kue yang enak.
"Yuk kapan-kapan aku kasih tahu tempatnya."
"Makasih ya, Gaby," ucapku senang. Tidak menyangka bahwa dia tiba-tiba datang untuk sekedar mampir ke rumahku tanpa pemberitahuan terlebih dahalu. Gaby terlihat begitu segar sore ini. Rambutnya yang lurus terlihat masih setengah basah. Wangi parfumnya.... aku menahan nafas agar tidak terlena oleh aroma itu.
"Sama-sama. Reyyan sehat?" tanya Gaby dengan nada riang.
"Sehat," jawabku pelan.
Aneh rasanya melihat Gaby tampak grogi seperti ini. Aku tersenyum dalam hati. Wajahnya tampak lugu, memperlihatkan sisi lain dari Gaby yang baru aku ketahui kini.
"Kamu lagi ngapain? aku ganggu gak?" tanya Gaby.
"Gak kok. Gua cuman nonton TV aja dari tadi," jawabku berusaha santai.
Hal yang sulit, karena berada didekat Gaby selalu membuatku menjadi tegang karna gugup.
"Oh iya, gimana perkembangan hubungan lo sama Yoga?" Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba aku menanyakan hal bodoh ini.
"Hubungan sama Yoga?" tanya Gaby bingung.
"Maksud gua, lo berdua, apa lo berdua...?"
"Kami kenapa?" potong Gaby, seraya menantangku.
"Ya lo kesulitan gak deketin Yoga? biar gua bantuin." aku berusaha untuk mencari kata-kata lain yang bisa aku gunakan agar tidak terjadi kesalah pahaman diantara kami berdua.
"Hmm..., aku gak kesulitan kok deketin Yoga, justru aku kesulitan deketin kamu. Bisa bantuin gak?" Gaby tersenyum kepadaku.
Aku terpaku mendengar perkataannya barusan. Mendekatiku? Apa aku tidak salah dengar?
"Emangnya gua kenapa?" tanyaku bingung.
Sungguh, kini aku tidak mengerti maksud ucapan Gaby barusan.
"Aku pengen kenal lebih dekat sama kamu, Rey. Boleh kan?" tanya Gaby lembut.
Aku tersentak. Apa maksud pertanyaan Gaby ini?
"Eh boleh lah. Kalau lo jadi pacar Yoga, lo pasti jadi teman gua juga kan," jawabku, masih berusaha untuk berpikir bahwa aku mungkin saja salah dalam mengartikan maksud pertanyaan Gaby. Gaby tidak mungkin ingin lebih mengenalku secara pribadi tanpa Yoga.
"Pacar Yoga? emangnya kalau mau temenan sama kamu, aku harus jadi pacar Yoga?"
Aku semakin tidak mengerti maksud perkataan Yoga.
"Kayaknya, aku gak mau jadi pacar Yoga. Aku maunya jadi pacar kamu, Boleh kan?"
Okey, kali ini, aku bukan hanya terkejut, mungkin bisa dikategorikan aku terkena serangan jantung mendadak. Aku membeku. Apa maksud Gaby barusan? Apa yang Gaby lihat dari diriku? Aku tidak ada seujung kuku pun jika dibandingkan dengan Yoga. Yoga lebih tampan, lebih keren, lebih pintar dari pada diriku. Dan, Yoga sangat suka sama Gaby.
"Yoga sukanya sama lo, apa perlu gua jelasin lagi?"
"Tapi, aku sukanya sama kamu, Rey, bukan Yoga."
Aku menoleh kekiri menatapnya.
Cup!
Sebuah ciuman cepat mendarat dibibirku dan membuatku syok.
Aku terdiam.
"Kok diam?" tanya Gaby yang melihat pipiku sangat merah.
"Kamu marah?" tanya Gaby sekali lagi.
"Gak, gua bingung. Gua boleh mikirin ini semua?"
Gaby mengangguk.
"Aku boleh minta ID LINE kamu juga?"
Aku berfikir selama beberapa detik. Apakah salah aku memberikan ID LINEku kepada Gaby? Dengan semua kemungkinan yang mungkin saja bisa terjadi dibelakangnya setelah dia mendapatkan ID LINEku nanti? Aku belum siap dengan semua kemungkinan itu.
"Sini ID LINE lo, nanti gua hubungin kalau gua nemu jawabannya."
"Janji kamu bakal ngehubungin aku?" tanya Gaby tampak tidak yakin denganku.
Aku hanya mengangguk pelan.
Aku tidak tahu harus bicara apa lagi dengannya. Pengakuannya yang mendadak dengan mengatakan bahwa dia suka kepadaku, seharusnya bisa aku terima dengan hati senang. Jujur, ingin rasanya aku terbang kelangit karena begitu bahagia diciumnya dan mendengar dari bibirnya secara langsung bahwa wanita yang aku sukai ternyata juga menyukaiku. Namun, apa yang aku rasakan sekarang terasa bercampur aduk. Aku memikirkan Yoga.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta Lama
RomanceAku telah melangkah melewati beribu-ribu jarak, beribu-ribu hari, membawa ruang kosong dihatiku. Cinta telah kutitipkan pada masa lalu, tetapi aku masih menyimpan sehela harapan masa depan bersamamu. Aku masih ingat hangat jemarimu dipipiku, membawa...