#Part 6

83 13 0
                                        

"Hei... Kang Cilok!, masih ngantuk lo?!" Aku membuka mata. Yoga sudah berada disampingku dengan senyum iblisnya.

"Iya nih. Gua habis begadang nonton film." Aku memperbaiki posisi dudukku, mencabut earphone dari telingaku.

"Wah bahaya nih lu, nonton bokep nih pasti!" ucap Yoga yang melotot kearahku.

"Semprulll!!!" sambil menjitak kepalanya. "Ohya Ga, pinjem tugas lo dong. Gua belum bikin nih." aku segera mengalihkan perhatiannya.

"Tumben banget lo gak bikin tugas?" tanya Yoga. Salah satu alisnya terangkat karna heran. Aku hanya nyengir kuda melihatkan deretan gigi depanku.

"Lupa." jawabku singkat. Yoga menerima alasanku tanpa pertanyaan lagi. Yoga sangat mengerti sifatku yang satu ini. Pelupa dan pikun.

"Rey, besok malam lo mau kemana?" tanya Yoga saat aku masih sibuk menyalin tugas miliknya.

"Gak tau. Kenapa?" aku harus berkonsentrasi untuk membuat modifikasi jawaban lain agar tidak terlalu sama dengan milik Yoga.

"Kalau misalnya Kak Gaby ngajakin gua keluar, lo ikut ya."

Aku terdiam. Tanganku mengambang diatas kertas. "Kenapa gua harus ikut?" tanyaku dengan nada sedikit panik.

"Please...." pinta Yoga dengan nada memelas.

"Emangnya mau diajak kemana sih?" tanyaku, berusaha untuk mencari celah meloloskan diri dari ajakan Yoga.

"Kan gua bilang kalau misalnya, Rey. 'Kalau'. Kak Gaby belum ada kabar sejak datang kerumah malam minggu waktu itu. Gua cuman berandai-andai aja, siapa tau dia ngehubungin Bang Yongky buat ngajakin gua keluar besok-besok. Lo ikut ya."

Aku menarik nafas panjang. "Oh, kirain sudah diajakin beneran." aku kembali menulis tugas.

"Tapi, kalau beneran gimana?"

"Tergantung," jawabku.

"Tergantung gimana?"

"Diajakinnya kemana dulu? Kalau misalnya diajak nonton atau dinner, gua gak bakal ikut. Tapi kalau Timezone atau Kids Station, gua berdiri paling depan deh."

"Goblok!" jitak Yoga yang langsung membuatku meringis kesakitan sambil memegang kepalaku. "Emangnya lo pikir gua anak kecil? Ha!?" tanya Yoga dengan suara kencang setengah melotot. Beberapa orang di kelas menoleh kearah kami berdua.

Aku terkikik. "Lo itu bayi besar yang pake pempres kemana-mana. Lagian, lo itu bego banget sih. Gak mungkin gua nyempil diantara kalian kalau misalnya dia ngajakin lo dinner kan? Gak! Gak bakal mau gua."

Sungguh, dalam hati aku berharap bahwa Gaby benar-benar mengajak Yoga keluar malam minggu besok dan Yoga bisa menyatakan perasaannya lantas mereka menjadi sepasang kekasih. Aku tidak ingin Gaby mengganggu kehidupanku dengan statusnya yang bukan milik siapa-siapa. Aku tidak ingin keinginanku yang begitu besar untuk memilikinya saat ini mengganggu pikiranku sebagai racun yang menjalar diseluruh tubuhku. Jika Gaby milik Yoga, aku mungkin akan mundur dan mengikhlaskannya sehingga tidak ada lagi keinginan untuk memilikinya.

*****

Sabtu sore. Aku berdiam diri di kamarku sendiri. Memasang earphone dan mendengarkan musik kencang-kencang dan mengikuti irama lagu dengan seenaknya tanpa peduli protes dari Mama agar aku tidak ribut. Yoga tidak menghubungiku seperti biasanya. Mungkin saja Gaby benar-benar mengajaknya keluar hanya berdua saja, lantas Yoga menyatakan perasaannya kepada Gaby sehingga aku tidak perlu gelisah seperti ini. Ponsel sengaja aku matikan karena aku tidak ingin setan yang ada pada diriku menang atas kehendaknya untuk menghubungi Gaby. Ya, aku memang sangat ingin menghubungi Gaby sejak dia datang kerumahku beberapa hari yang lalu. Keinginan itu makin menjadi-jadi setiap aku memegang ponselku. Namanya dikontak ponselku selalu aku pandangi, seolah berharap bahwa dia akan menjelma begitu saja dihadapanku karena begitu lamanya aku pandangi. Nama kontaknya mulai bermain-main dikepalaku. Rasa frustasi mulai menhantuiku.

Serpihan Cinta LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang