#Part 3

111 14 1
                                    

Yoga keluar dari kamarnya dengan ragu-ragu. Aku tahu dia tidak yakin atas apa yang seharusnya dia lakukan setelah ini. Tetapi, syukurlah, suara Bang Yongky yang memanggilnya, menyelamatkan langkahnya. Yoga memasang senyum lebar, menarik bajuku untuk terus bersamanya. Rupanya, dia tahu bahwa jika aku tidak dipegang, aku bisa menghilang. Kabur.

"Nah, Gaby, ini dia Yoga. Katanya, lo pengen ngobrol sama adik gua kan?" Bang Yongky menggoda Gaby.

Aku melihat sekilas kepada Yoga, dia tampak tersipu malu mendengar perkataan Bang Yongky kepada Gaby. Aku mengambil posisi agak dibelakang Yoga, berusaha menghalangi diriku dari jangkauan pandangan Gaby.

"Rey, sini, ngerujak sama gua diteras yuk. Gua bikin rujak mangga, loh. Wi, kamu mau rujak?"

Bang Yongky begitu pintar mengalihkan aku dan Kak Dewi untuk menyingkir dari Yoga dan Gaby, agar mereka bisa berdua saja diruang tamu.

"Loh. Kok?  Ngerujaknya disini aja. Gua juga mau. Eh, jangan makan sendiri." timpal Yoga.

Aku tetap diam didekat Yoga. Bukan karena aku tidak mau mengikuti Bang Yongky, tetapi tangan Yoga masih erat menggenggam ujung bajuku. Aku melirik Gaby, ingin tahu bagaimana reaksinya terhadap tingkah Yoga. Gaby tersenyum simpul. Menatapku.

Menatapku?

Jantungku langsung berhenti berdetak. Aku segera menundukkan kepalaku. Sialan, kenapa sih gua sekarang? Gua takut banget sama nih cewek. Kenapa?

"Yaudah, kalau gitu, kita diteras aja yuk," ajak Bang Yongky kepada kami semua pada akhirnya.

Aku memilih tempat duduk disamping Yoga. Satu meja kecil ini berisi lima kursi yang kami duduki masing-masing membentuk lingkaran tidak sempurna. Yoga duduk di sebelah Bang Yongky yang disambung dengan Kak Dewi. Sialnya, itu berarti aku harus duduk berhadapan dengan Gaby. Aku langung menciut.

"Dapat mangga dari mana nih?" tanya Kak Dewi. Dia pertama mencomot potongan mangga muda yang berada diatas piring. Aku sama sekali tidak berselera dengan rujak saat ini. Padahal, biasanya, aku bisa mengeluarkan air liur walau hanya sedang membayangkannya saja.

"Kemarin, Tante Uuk bawain dari rumahnya. Rumahnya kan banyak pohon mangga. Panen deh dia. Masih banyak tuh didalam," Jawab Bang Yongky.

"Kak Gaby suka rujak juga?" usaha Yoga untuk memulai percakapan dengan wanita didepanku ini patut diacungi jempol. Kak Gaby. Ya...., sudah sepantasnya aku dan Yoga memanggilnya "Kak" karena usia kami yang terpaut dua tahun.

"Gak terlalu sih. Kalau Yoga?" tanya Gaby.

Nadanya terdengar begitu lembut ditelingaku. Menikamku bagai sebilah pisau tajam. Apakah nada seperti itu yang dia keluarkan saat berbicara denganku waktu kali pertama kami bertemu? Entahlah, aku tidak dapat mengingatnya dengan jelas dulu, yang pasti kini aku merasakan rasa cemburu mulai merambati diriku. Apakah nada seperti itu hanya berlaku untuk Yoga saja? Tetapi, mengapa aku harus merasa cemburu? Aku segera menepis pikiran ini dari dalam kepalaku.

"Suka banget. Kakak gak nyoba?" bujuk Yoga.

"Enak loh, Gaby. Dijamin pasti ketagihan," sambung Bang Yongky.

"Hmmm... Mangganya enak, Yang," lanjutnya kepada Kak Dewi.

Gaby mulai mencoba mencolek bumbu rujak dengan buah mangga. Aku pun melihat tangan-tangan lain mulai lancar mengambil buah mangga dan bumbu rujak.

"Reyyan gak suka?" tanya Gaby.

"Rey, kok bengong, sih? Ditanyain sama Kak Gaby tuh!" Yoga menyikutku.

Aku tidak memperhatikan bahwa Gaby bertanya kepadaku, lebih tepatnya tidak menduga bahwa dia akan berbicara denganku.

"Eh, lagi sariawan," jawabku singkat, lalu mengalihkan pandanganku darinya.

Serpihan Cinta LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang