Bab 2

431 71 13
                                    

Aku tahu, saat membaca cerita ini, di tempat kalian mungkin masih dalam suasana pagi yang diselimuti hawa dingin, atau sedang disiang hari, di sore hari atau mungkin sudah jadi malam hari. Dan pagi yang sedang berubah menjadi siang hari ini membuatku terpaksa mengingat lagi kisah yang sebenarnya tak pernah sedikitpun hilang dari benakku. Cerita yang kini ingin didengar langsung oleh anakku sendiri. Mari kita mulai....

----

12 tahun yang lalu,

Bandung, 2005

Semburat cahaya lampu membuat seluruh ruangan ini terlihat terang dan jelas juga nyata. Warna biru mendominasi dinding dan sebagian barang-barang yang ada dalam ruangan ini, kamarku. Aku menyukai semual hal berwarna biru, karena konon katanya warna biru memberikan kita ketenangan. Selain sebuah tempat tidur, sebuah lemari pakaian, sebuah gitar, sebuah meja berisi buku-buku juga beberapa barang milikku, didinding terpampang beberapa fotoku bersama ayah, ibu dan Ara. Pasti kamu ingin bertanya kenapa harus foto Ara? Bukan kakak atau adikku saja, bukan?

Aku adalah anak tunggal, wanita bernama Ara itu pun sama. Dia memiliki paras manis dengan rambut sebahu, pipi chuby dan tinggi 160 centi. Ngomong-ngomong Ara adalah tetangga sebelah rumahku, kami saling mengenal sejak kecil dan kami kini bersahabat. Dan ya, semakin hari aku semakin tidak mengerti mengapa aku merasakan sesuatu yang aneh dalam persahabatan kami.

Aku tidak pernah berniat merusak atau bahkan membuat Ara pergi menjauh dariku, yang jelas aku sangat menyayanginya. Ara adalah sahabat sekaligus alasan mengapa hingga detik ini aku tidak juga memiliki pacar. Bukan, bukan karena aku aneh atau menyukai sesama jenis, disekolah aku termasuk salah satu idola para wanita karena hobby bermain gitar diiringi suara merduku. Tapi catat satu hal, hanya Ara yang berhasil mewarnai hari-hariku, tidak ada yang lain.

"Dimas!!!" Aku tersenyum saat mendengar suara itu.

"Dimas..."' Aku semakin melebarkan senyumanku saat aku mendengar suara itu untuk yang kedua.

"Dimas Rasendria, dimana kamu?" suara itu terdengar untuk yang ketiga kalinya.

Aku pun dengan malas melangkah menuju jendela.

"Dim, kamu mah nyebelin!" celoteh itu membuatku akhirnya membuka gordeng kamar lalu membuka jendela kamarku. Terlihat wajah berparas manis milik Ara di sana, namun kini ditambah dengan bibirnya yang dikerucutkan ke depan.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kamu daritadi aku panggilin juga, emang lagi ngapain sih?" omelnya dari ujung jendela kamarnya. Ya,benar, kamar kami bersebrangan jadi cukup membuka gordeng kamar lalu membuka jendela dan mulai berteriak saling memanggil seperti biasanya.

"Lagi main game dikomputer. Kenapa?" tanyaku lagi.

"Jutek banget, pantes gak punya pacar!" omelnya lagi.

"Yaudah maaf, kenapa Ara ?" ucapku dengan lembut, bermaksud agar Ara tak lagi mengomel.

"Sepedahan yuk, Dim" ajak Ara dengan senyum tiba-tiba.

"Males, udah sore tahu. Besok aja hari minggu" jawabku.

"Maunya sekarang, Dim. Aku mau refreshing abis ngerjain pr fisika seabrek-abrek" ucap Ara, kini sambil mengerucutkan bibir lagi. Baiklah, aku tidak bisa jika harus bermusuhan dengan sahabat kesayanganku ini, karena meskipun Ara bawel dan suka ngambek tapi hanya Ara yang bisa merubah moodku menjadi baik, jadi aku meng-iyakan saja permintaannya.
Kami selalu bersama-sama setiap hari dan entah mengapa tumben-tumbennya hari selasa seperti ini Ara mengajakku bersepeda karena biasanya dia hanya mau bersepeda dihari minggu saja.

Lima menit kemudian aku segera turun ke bawah dan menyiapkan sepedaku. Kulirik Ara yang kini tersenyum ke arahku, manis sekali. "Ayo" ucapku yang dibalas dengan senyuman Ara lagi, Lebih manis dari senyuman yang pertama.

Sudah hampir setengah jam aku dan Ara mengelilingi komplek rumah kami. Langit mendung pun akhirnya berakhir dengan hujan. Dengan cepat aku mengajak Ara untuk berteduh.

"Dim?"

"Hmm?"

"Dingin...."

"Nih...." jawabku sambil memberikan jaket yang kupakai padanya.

"Kamu gimana nanti?"

"Gapapa, aku kan cowok, kamu lebih butuh dari aku karena kamu kan cewek" jawabku singkat.

"Yaudah. Makasih ya" ucapnya. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.

----

Setelah cerah, kami kembali mengayuh sepeda kami dan pulang ke rumah masing-masing. Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Seusainya, aku mengusap rambutku dengan handuk.

Kulirik jendela kamar, hari sudah gelap hingga akhirnya aku memilih menatap wajahku dicermin, lalu bertanya dalam hati, kapan aku berani mengungkapkan perasaanku? Apakah perasaan ini bisa merusak persahabatanku dengan Ara? Apa Ara memiliki perasaan yang sama denganku? Bagaimana jika dia tidak menyukaiku?

"Dim?" Aku segera menoleh ke arah sumber suara.

"Ara?" pekikku.

"Aku masuk ya?" ucapnya yang berdiri diambang pintu kamarku. Belum sempat aku jawab, Ara sudah duduk disofa, Aku dan Ara memang sudah terbiasa masuk ke kamar masing-masing, tapi semenjak perasaan lebih ini muncul, aku selalu gugup tiap kali Ara berada dikamarku. Ah aku ini kenapa?

"Nih aku bawain kue cokelat kesukaan kamu"

"Dibuatin mamah ya?"

"Enak aja, aku buat sendiri khusus buat kamu karena tadi kamu udah minjemin jaket buat aku tahu!"

"Yaudah iya"

"Nih cobain" ucap Ara sambil menyuapi kue cokelat itu ke dalam mulutku. Dan mata kami bertemu, Ara kemudian tersenyum, aku benar-benar gugup saat itu.

"Enak gak?"

"Enak"

"Habisin ya"

'Iya"

Hening sesaat.

"Dim?"

"Hmm?"

"Sekarang kita udah kelas sebelas, 1 tahun lagi kelas dua belas, abis itu lulus dan kuliah. Kita kuliah bareng kan? aku gak mau pisah sama kamu"

"Tapi kita pasti beda jurusan, karena aku kan suka IT dan kamu sukanya Psikologi, mana bisa bareng?"

"Ih maksud aku satu universitas, Dim. Pokoknya aku gak mau pisah sama kamu!"

"Emang kenapa gak mau pisah sama aku?" tanyaku menggoda.

"Karena kamu sahabat aku" jawab Ara.

Hening kemudian.

Seperti disambar petir, hatiku rasanya sakit sekali mendengar penuturan Ara, cintaku sepertinya bertepuk sebelah tangan. Tapi mendadak kulihat Ara yang kini malah menyandarkan kepalanya dipundakku.

"Aku sayang kamu, tetap jadi sahabatku walau apapun yang terjadi ya?"

"Iya" jawabku singkat. Hanya itu yang bisa kukatakan karena aku sendiri masih harus mengontrol perasaaanku.

----

Cinta & RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang