Chapter 4

9.1K 432 4
                                    


Halo, saya Vaughn! Ada yang sadar cerita ini ganti cover? Hehehe, terimakasih teman-teman sekalian atas supportnya! Senang sekali dapat vote banyak dari kalian! Jadi makin semangat menulis cerita ini! Bagi-bagi opini kalian ya di comment kalau ada yang saya harus improve atau apapun! Selamat membaca! 

-Vaughn



"Ayo, Joanna, makanlah, jangan putus asa seperti ini" Ujar Rachel putus asa, sambil menyendok makanan dari piring yang dipegangnya, ia menghela napas melihat sahabatnya yang hanya memandang lurus dengan tatapan kosong. Sesekali air mata jatuh mengalir di pipinya, tanpa ia sadari.

"Ayo, Joanna, kau harus membaik, kau selalu memerintahkan aku untuk makan, sekarang aku memintamu makan, kau tidak mau" Ujar Rachel kembali saat Joanna tidak menghiraukan ucapannya sama sekali. Kesakitan yang ia hadapi membuat raganya tak berdaya lagi untuk bereaksi.

"Joanna, sayang, dengarkan aku," Emma memulai pembicaraan, melihat sahabat anaknya yang sudah ia anggap anaknya sendiri, terlihat lemah tak berdaya, kekecewaan dan kesedihan tak berujung terpampang jelas di wajahnya yang cantik. "Tidak ada yang perlu kau sesali tentang semua yang telah terjadi, itu semua takdir tuhan, tiada apapun yang bisa mencegahnya. Kau tidak boleh berputus asa seperti ini, aku tau kau gadis yang kuat, yang harus kau pikirkan adalah bagaimana kau tetap bertahan hidup ke depannya, aku dan Rachel akan selalu disisi mu, sayang. Dan satu hal yang harus kau yakini, bahwa rencana tuhan adalah yang terbaik, kembalilah Joanna ku yang ceria, kem--" Lanjut Emma, ia memang wanita paruh baya yang memang seharusnya mempunyai banyak pengalaman dalam kehidupan, namun omongan bijaksananya terpotong oleh Joanna.

"Cukup!" Teriak Joanna, air mata mulai mengalir dari kedua matanya, membasahi kedua pipi pucatnya.

"Kalau memang rencana tuhan itu yang terbaik, mengapa ia mengambil suami dan ibuku? Mengapa tuhan membuatku lumpuh?! Bagaimana aku bisa kembali ceria ketika kakiku lumpuh?! Bayangkan Emma, aku... Tidak... Bisa... Berjalan... Aku... Tidak punya... Kaki... Apa kau bisa membayangkan rasanya ketika kau tidak dapat menggunakan kakimu?!" Tangis Joanna mengeras. Emma pun menangis mendengarkan seluruh isi hati Joanna. Ini semua memang berat, Emma bisa membayangkan dengan jelas jika dia ada di posisi Joanna sekarang.

"Joanna?" Ferdinand berjalan mendekat ke arah ranjang putih khas rumah sakit dimana Joanna terbaring. Joanna memalingkan wajahnya, ia masih sesenggukan, seolah malu ada yang melihatnya menangis.

'Sayang, aku mohon hapus air matamu...' Pikir Ferdinand di dalam benaknya.

"Kenapa kau menangis? Tadi pagi kau memperlihatkan kemajuan padaku, itu artinya kau akan membaik, lalu mengapa kau menangis?" Tanya Ferdinand ramah, memberikan senyuman simpul khasnya yang menghangatkan, yang selalu ia gunakan untuk menenangkan pasien-pasiennya, membuat mereka berfikir seolah-olah semuanya akan baik-baik saja.

Joanna masih memalingkan wajahnya. Ferdinand lalu mengecek file pasien milik Joanna yang dipegang suster lalu menulis obat-obat yang harus dimasukkan ke dalam cairan infus.

"Joanna, apa yang kau rasakan? Apa badanmu masih sakit-sakit?" Tanya Ferdinand lembut pada Joanna. Joanna yang masih memalingkan wajahnya dan memandang nanar pada jendela hanya mengangguk pelan. Ferdinand menatap Emma mengerti. Ia menghela nafasnya.

"Well, kurasa kau akan terus mengabaikanku, tapi aku yakin kau tidak akan sanggup mengabaikan mereka..." Ujar Ferdinand sambil tersenyum ke arah pintu. Seketika pintu terbuka, segerombolan anak-anak berpakaian lusuh namun dengan wajah gembira menghampiri Joanna.

"Joanna! Joanna!" Teriak riang mereka satu per-satu. Lalu yang terakhir masuk adalah ibu Regina, pengelola panti asuhan anak-anak tersebut. "Ssssht, Joanna sedang sakit, kalian tidak boleh mengagetkannya!" Ujar Regina tegas pada anak-anak didikannya. Seketika anak-anak itu terdiam. Ferdinand, Joanna, Emma dan Rachel tertawa geli melihat tingkah laku anak-anak polos tersebut.

Vision Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang