Prologue

3.8K 241 6
                                    

Suasana kelas di pagi hari yang cerah ini cukup berbeda, satu minggu yang lalu desas-desus tentang 'murid baru' sudah tersebar luas. Hanya saja seorang murid berkata bahwa orang itu sedikit berbeda dari orang sebayanya.

Ketukan sepasang hak sepatu yang bergantian mulai memenuhi seisi ruangan yang semula ramai tiba-tiba menjadi hening.

"Assalamualaikum," ucap wanita paruh baya berpenampilan rapi yang merupakan wali kelas itu.

Ucapan salam yang dibalas serempak oleh murid membuat wanita itu menerbitkan senyum manisnya yang terlihat muda dikala usianya sudah hampir kepala 5.

"Waalaikumsalam."

"Ya, pagi anak-anak, hari ini agak berbeda ya, karena ibu bawa murid baru."

Seorang murid yang duduk di pojok belakang kelas menyahut, "yang katanya beda itu ya, Bu?"

"Hush, dia gak beda, Ares. Hanya saja dia asalnya homeschooling total, nantinya dia mungkin cuma gugup aja kalau berinteraksi." Bu Anggi selaku wali kelas menjawabnya sambil menggeleng-geleng.

Sulit, sih. Gumamnya dalam hati.

"Tetapi, buat adaptasi disini dia gak belajar di kelas dulu, dia bakal belajar di perpustakaan sambil matrikulasi. Ibu panggilkan ya."

Ibu Anggi menghampiri murid baru tersebut yang cukup lama menunggu di depan pintu yang ditutup rapat, saat itu juga semua pasang mata tertuju pada orang itu.

Perawakannya yang cukup tinggi untuk seukuran perempuan berumur 16 tahun, rambut panjang hitam yang terurai rapi.

Ialah murid baru itu, berjalan masuk ke kelas tanpa menegakkan kepalanya sama sekali, tertunduk malu, kedua tangannya yang mengepal gemetaran sangat menarik perhatian satu kelas itu.

Namun tatapan-tatapan murid di kelas itu bukanlah tatapan menyambut, melainkan tatapan aneh yang membuat ia tak nyaman.

"Jadi anak-anak, ini temen baru kita, namanya Tarra Aninda."

Bisikan-bisikan murid yang tak berperasaan mulai bermunculan, hanya bisikan, tetapi terdengar jelas oleh Tarra.

"Ansos sih, ya. Jadi ya mau gak mau harus diasingkan, lagian gak ada kali ya yang mau temenan sama dia." Dengan angkuhnya, seorang siswi yang tampak 'suka menindas' itu berkata, padahal ia saja tak tahu Tarra itu seperti apa.

"Is she crazy? Hahaha."

"Nope. Dia cuma salah tempat aja, nekat."

Tarra memang geram, ingin menyalahkan, tetapi mungkin itulah faktanya. Ingin membalas tak bisa, sabar pun tak terbendung.

Ia merutuki diri sendiri, mengapa dirinya harus terdampar dan terjebak di tempat yang kurang energi postif seperti ini?

Tiba-tiba, sepasang mata menatap Tarra. Bukan menyeramkan, tetapi hangat. Orang itu melambaikan tangannya pada Tarra dengan senyuman disertai gigi putih yang berjajar rapi.

"Ini aku gak salah?"

Tanpa sadar, tangannya yang gemetaran melambaikan balik kepada murid itu. Darahnya seakan berdesir, tak ingin berbesar hati, tetapi ia senang dan gugup bahwa masih ada orang yang menyambutnya.

Tak tahu ia bermuka lebih dari satu atau tidak.

"Tarra, Tarra, ayo kita ke perpustakaan udah mau masuk jam pertama." Suara Bu Anggi dengan ajakannya memecahkan lamunan Tarra.

Ia harus menjumpai realita dimana bulan ini seperti biasanya, sendirian, asing, dan sepi. Hanya untuk sementara saja, untuk adaptasi, untuk mengejar ketertinggalan.

Dare to Die [Remake]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang