"Apa?" gumamku pelan dengan dahi yang mengerut bingung.
"Lo pikir gue bego apa, bisa lo bohongin dengan sikap polos lo yang selama ini lo suguhin ke gue?" seru Valen dengan amarahnya. "Gila, El, gue nggak nyangka kalau lo selicik itu."
Mulutku terbuka, kedua mataku memandang tidak percaya. Aku benar-benar tidak mengerti dengan kalimatnya.
"Astaga," gumam Valen yang berbalik sambil mengusap wajahnya dengan frustasi. "Seharusnya dari awal gue udah sadar sama asal usul lo yang nggak jelas."
"Valen, kamu ngomong apa?" tanyaku dengan suara putus asa, mulai merasakan sesak di dadaku.
"Harusnya gue nggak setuju ngebiarin cewek kayak lo buat tinggal di sini karena gue tau lo cuma manfaatin gue doang!" geram Valen. "Lo bilang kalau bokap lo abusif kayak bokap gue, lo bohong sama gue! Terus lo sok-sokan masakin gue, sok-sokan baik sama gue, supaya apa? Supaya gue bisa luluh sama lo? Iya?!"
Aku terkejut.
"Valen, aku sama sekali nggak--"
"Baim bilang kalau bokap lo sayang sama lo. Dia nyesel, dia minta maaf. Lo bilang kalau bokap kita nggak ada bedanya, tapi nggak, El! Lo cuma bilang gitu supaya gue mau nerima lo di sini, supaya cewek kampung kayak lo masih bisa lebih lama nikmatin yang udah gue raih di sini!"
Aku tertegun. Dia menyebutku apa barusan? Jadi itu yang selama ini dia pikirkan tentangku?
Aku membuang muka dengan dada yang amat sesak. Aku seharusnya tidak merasa tinggi hati saat Valen sebenarnya selama ini memandangku sedemikian rendah.
Valen kembali membuang muka, menghela napas geram. Wajah putihnya nampak memerah karena amarahnya.
"Ini yang selama ini gue takutin," katanya dengan pelan.
Dengan perasaan bersalah dan bimbang, aku mendongak padanya.
"Orang-orang pada bilang kalau gue pemain instrumen paling lemah di band, El," ujarnya. "Personil terakhir yang mereka pilih. Hidup paling berantakan. Dramatis. Paling gampang nemu gantinya."
Aku menggeleng, tidak kuasa menahan tangis. "Nggak, Valen."
"Besok pagi, gue nggak mau liat lo lagi di sini," kata Valen tiba-tiba, masih memunggungiku. "Lo balik ke kampung lo, rawat bokap lo yang sakit itu. Abis itu nikah sana sama Baim. Gue tau kalian saling suka."
"Valen, dengerin aku! Aku nggak pernah bohong sama kamu!" teriakku. "Mungkin Bapakku emang udah berubah di sana, aku nggak tau. Tapi aku nggak pernah mikir yang negatif tentang kamu sama sekali. Semua yang aku lakuin ke kamu itu memang sifatku begitu, Valen."
"Halah, bullshit lo!"
"Aku bilang, aku nggak pernah bohong sama kamu!" tegasku sekali lagi sambil terisak. Lalu aku menenangkan diriku sambil berkata dengan kepala tertunduk, "Aku emang pernah suka sama Baim, tapi itu dulu. Aku nggak tau kalau dia ternyata juga--"
"Dia juga suka sama lo? Nggak, El, gue denger sendiri, dia sayang sama lo!"
"Tapi aku sayangnya sama kamu, Valen!" kataku, akhirnya. Air mata mulai menetes lagi ke pipiku.
Kedua mata Valen terbelalak, tertegun dengan apa yang aku katakan.
"Aku nggak peduli kamu bentak aku, marahin aku, ngatain aku macem-macem yang mungkin kalau orang normal bakal sakit hati," kataku sambil menangis. "Tapi, Valen, saat ngadepin kamu, aku tau kalau aku bukan orang normal."
Valen masih berdiri terdiam, memandangku dengan raut terkejut.
"Aku nggak mau pergi dari sini, karena aku tau kamu butuh seseorang buat jagain kamu," ujarku menjelaskan. "Aku nggak mau ninggalin kamu. Nggak di saat kamu sendirian kayak gini, karena aku ngerasain apa yang kamu lalui selama ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Drummer [Completed]
RomanceKedua mata Valen tenggelam dalam kesedihan saat menatapku. Tangan kirinya diselipkan pada lingkar pinggangku, menarikku dengan sopan. Sementara tangan kanannya menelusuri pipi kiriku dengan punggung jari telunjuknya sambil bergumam, "Elian." Aku ter...