"Kira-kira sembuhnya kapan, ya Dokter?"
"Hmm," gumam Dokter Haifa sambil mengelap luka di kepalaku dengan semacam cairan obat. "Kira-kira seminggulah lukamu sembuh. Tapi kepala sama kakimu dalemnya baru bener-bener pulih kira-kira sebulan," katanya.
Kedua mataku melotot. "Sebulan?"
Itu waktu yang cukup lama, loh. Aku masih harus di sini selama itu! Kumpul kebo dengan Valen sebulan!
Dokter Haifa hanya tertawa. "Kenapa emangnya? Kamu nggak betah di sini?" tanyanya.
Aku memasang wajah cemberut dan menjawab dengan pertanyaan, "Siapa yang betah tinggal sama orang kayak Valen?"
Dokter Haifa menjawab dengan dengusan dan senyuman. Kedua tangannya begitu terampil memasang perban di kepalaku. "Belum keliatan kali. Valen emang keliatannya nyebelin, kekanak-kanakkan, tapi itu cuma permukaannya aja. Kalau kamu masih mandang dia seperti itu, berarti dia emang belum mau terbuka sama kamu," katanya.
Dahiku mengerut. Apa maksudnya itu? Dari cara Dokter Haifa mengucap kata-kata itu, nampaknya dia sudah lama sekali mengenal Valen.
"Dokter udah berapa lama kenal Valen?" tanyaku.
Dokter Haifa tersenyum sembari memasang perekat terakhir untuk merekatkan perban di kepalaku. Dia memandang sejenak hasil pekerjaannya dan menjawab, "Lebih lama dari teman-temannya."
Lebih lama dari teman-temannya? Jawaban Dokter Haifa semakin membuatku penasaran. Saat aku ingin bertanya lebih lanjut, tiba-tiba suara bel pintu depan berbunyi.
"Pas banget," gumam Dokter, lalu bangkit dan berjalan menghampiri pintu.
Dari sofa ruang tamu, aku memperhatikannya membuka pintu. Seorang laki-laki dengan kereta berisi makanan yang tertutup saji mengatakan bahwa dia datang untuk mengantar sarapan. Dokter Haifa langsung mengambil alih dan mendorong masuk kereta kecil berisikan makanan itu, lalu menutup pintu.
"Sarapan dulu, nih El," Dokter Haifa mempersilahkanku.
Aku mengambil tongkat alat bantu jalanku dan menghampiri Dokter Haifa yang terus mendorong kereta makanan hingga sampai di meja makan. Aku memandang kereta makanan tersebut dengan takjub karena pelayanan apartemen ini sedari kemarin benar-benar begitu memanjakan.
Saat tudung saji dibuka, kedua mataku pun membelalak. Ada beberapa lembar roti bakar, sekotak keju oles, beberapa kemasan selai rasa coklat dan stroberi, satu botol beling susu cair, satu botol beling jus jeruk, dan beberapa porsi telur dadar.
"Valen biasa makan sebanyak ini??" tanyaku.
Dokter Haifa tertawa. "Ya nggak lah. Dia sengaja mesen sebanyak ini buat kamu," katanya.
Aku terkejut, mendadak gugup. "Buat aku?"
"Dia nggak tau kamu biasanya sarapan apa, jadinya dia mesen semuanya," kata Dokter sambil menempatkan makanan-makanan tersebut ke piring-piring baru.
Astaga, Valen, benarkah kamu ternyata sebaik itu? Apa karena dia merasa bersalah telah menabrakku hingga harus melakukan ini semua padaku dengan sebenar-benarnya? Tapi kenapa kemarin dia menyebalkan sekali?
Kalau kamu masih mandang dia seperti itu, berarti dia emang belum mau terbuka sama kamu.
Seperti apa sebenarnya sifat Valen?
"Silahkan, Elian, kamu pilih aja mau makan apa," Dokter mempersilahkan lagi, membuat pikiranku buyar.
Tiba-tiba, suara pintu kamar Valen terbuka, membuat kami menoleh. Laki-laki itu keluar dari kamarnya dengan rambut acak-acakan dan kedua mata setengah terbuka. Dia merintih saat tangannya menggenggam kepalanya. Gerakannya lunglai sekali saat berjalan menghampiri kami. Setelah mendengar pernyataan Dokter tentang Valen, aku jadi sedikit mengubah pandanganku tentangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Drummer [Completed]
RomansaKedua mata Valen tenggelam dalam kesedihan saat menatapku. Tangan kirinya diselipkan pada lingkar pinggangku, menarikku dengan sopan. Sementara tangan kanannya menelusuri pipi kiriku dengan punggung jari telunjuknya sambil bergumam, "Elian." Aku ter...