This night is heating up
Raise hell and turn it up
Saying, "If you go on you might pass out in a drain pipe."
Oh yeah, don't threaten me with a good time."It's a hell of a feeling though! It's a hell of a feeling though!" senandung Valen tak henti-hentinya sambil mengetuk-ngetuk setir layaknya seperangkat drum. Kepalanya ikut manggut-manggut mengikuti tempo lagu.
Layar multimedia pada dashboard mobil menampilkan judul lagu yang sedang dimainkan melalui speaker, yaitu Panic! At The Disco - Don't Threaten Me With a Good Time.
Aku? Sepanjang perjalanan aku habiskan dengan bersandar nyaman di sebelah Valen, memandangi tingkahnya--yang seperti remaja berusia 16 tahun yang belum pubertas--dengan senyuman.
"What are these footprints? They don't look very human-like," lanjut Valen. "Now I wish that I could find my clothes. Bed sheets and a morning rose."
Astaga. Butuh ribuan kali tatapan pada Valen agar aku percaya bahwa laki-laki di hadapanku itu telah memberiku banyak hal. Awalnya memang menyebalkan, namun semakin aku mengetahui kisahnya, aku semakin menerimanya. Entah bagaimana aku bisa membayar semuanya.
"Valen," panggilku.
"Bar to bar at the speed of sound.
Fancy feet dancing through this town.""Valen!"
"Lost my mind in a wedd--"
"VALEN, IH!"
"Apaan, sih! Apa lagi?!" teriaknya dengan kesal sambil mengecilkan suara speaker agar bisa mendengarku.
"Mungkin kamu capek dengernya, tapi, takut kamu lupa," kataku. "Terima kasih banyak."
"Astaga," dengus Valen, menurunkan kedua bahunya.
"Kamu udah baik banget sama aku--"
"Sumpah, El, kali ini mulut lo beneran gue lakban dah."
"Baru dua minggu, ya ampun, aku masih nggak percaya semua ini terjadi."
"Bullshit."
"Aku janji suatu saat bakal ngebayar semuanya."
"HAH!" tawa Valen, singkat namun keras dan bernada penuh ejekan. "Bayar pake apa lo? Kapan? Gue nggak ada waktu buat 'suatu saat'. Gue nggak suka nunggu sesuatu yang nggak pasti."
Aku memberinya raut wajah datar lalu berkata, "Ini beneran, Valen."
"Ya, baiklah," jawab Valen, masih dengan nada mengejek.
Aku memandang kaki kiriku dan menggerakkannya sedikit. "Bentar lagi aku udah nggak bakal ngebebanin kamu lagi, kok. Kakiku udah mulai nggak pincang lagi," kataku.
Yang artinya, aku akan merindukan laki-laki di sampingku ini.
"Seriusan udah nggak pincang? Kata Dokter Haifa dua minggu lagi?" tanya Valen.
Kok, aku merasa nada di kalimatnya seperti terdengar peduli denganku?
"Kan bisa lebih cepet," aku mengoreksi.
"Lagian emang lo udah tau mau tinggal di mana?" tanya Valen, melirikku singkat. "Pasti jawabannya nggak tau."
"Ish!" geramku sambil memukul bahunya.
"Dua minggu tinggal sama lo, tiap gue tanyain hidup lo, jawaban lo nggak tau terus," ujarnya dengan ketus.
Aku mendengus kesal. Dia benar. Aku belum tahu akan tinggal di mana nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Drummer [Completed]
RomanceKedua mata Valen tenggelam dalam kesedihan saat menatapku. Tangan kirinya diselipkan pada lingkar pinggangku, menarikku dengan sopan. Sementara tangan kanannya menelusuri pipi kiriku dengan punggung jari telunjuknya sambil bergumam, "Elian." Aku ter...