Lagi, aku terbangun pada pagi buta, yakni pukul 02.14 WIB. Kali ini, aku tidak terbangun karena suara, justru melainkan karena ketidakhadiran suara.
Aku bangkit dari ranjang lalu berjalan dengan pincang keluar kamar. Saat itulah aku melihat Valen sedang duduk termenung di mulut jendela besar samping dapur.
Aku berjalan menuju dapur perlahan dan tertegun sejenak saat melihat piring bekas makan seseorang. Seiring dengan hal itu, aku juga melihat Ayam Rica-rica dan Capcay buatanku habis di atas meja.
Aku hampir tidak percaya, Valen akhirnya memakan masakanku. Bahkan hingga dihabiskan!
Aku menoleh ke arah Valen yang memunggungiku, duduk dengan damai, hanya ditemani semilir angin malam dan suara hilir mudik malam yang anteng di pagi buta. Sikapnya yang sekarang sama sekali tidak menunjukkan sifatnya yang manja, sombong, kekanak-kanakan, dan pemarah, sama sekali. Justru sebaliknya. Saat ini, dia nampak seperti laki-laki muda yang berharap malaikat mengabulkan permintaan kecilnya.
"WHA!!"
"AGH-Valen!!"
Valen seketika tertawa terbahak-bahak sambil menggenggam perutnya, sementara aku menggenggam dadaku sambil berusaha mengatur napas. SIALAN, laki-laki ini. Baru saja aku memujinya. Tuhan, kenapa Kau menciptakan makhluk sebajingan ini?
"Anjir, ekspresi lo priceless sumpah astaga," seru Valen di tengah-tengah gelak tawanya yang menggelegar.
"Nggak lucu, Valen, bercanda kamu bisa bikin aku mati, tau nggak?" geramku.
Valen masih tertawa, menghabiskan sisanya. Setelah sudah mulai reda, dia berkata, "Lagian lo ngapain sih bangun pagi buta gini? Mau jogging? Sana gih ajak ayam jago, ntar kukuruyuk bareng."
Aku membalas kalimatnya dengan tatapan sebal. Sudah mengagetkan, menertawakan, mengejek pula.
"Harusnya aku yang nanya, kamu ngapain pagi-pagi buta begini duduk sendirian?" kataku, berjalan menghampirinya.
Valen mendengus. "Kepo banget sih," jawabnya dengan nada terganggu. Pandangannya kembali terkunci pada pemandangan kota Jakarta pada malam hari di bawah sana.
Aku hanya menatapnya dengan sebal lagi. Rasanya aku ingin memukul laki-laki di sampingku ini, tapi aku merasa tidak punya hak. Setidaknya setelah aku mendengar beragam siksaan yang selama ini Valen alami.
Aku pun hanya bersandar pada sisi lain ujung jendela, ikut memandang pemandangan kota Jakarta di bawah sana. Wilayah kampungku dapat kulihat lagi. Sejenak, aku sedikit penasaran, bagaimana situasi di sana. Apa kabar Dela? Apakah dia hamil sekarang setelah diperkosa Novan? Apakah Bapak masih memalak para pedagang pasar?
"Kalau kamu perhatiin di ujung sana," kataku tiba-tiba sambil menunjuk wilayah yang aku maksud. "Itu tempat tinggalku sama Bapak. Kalau apartemen seluas ini cuma ditinggal satu orang, di kampungku sana bisa tiga keluarga."
"Siapa?"
"Hmm. Biasanya sih antara--"
"Yang nanya?"
Aku menoleh dengan sebal lagi, sementara Valen tertawa lagi dengan raut tidak bersalahnya. "Kamu jahat banget sih! Udah ah, aku mau balik tidur lag--"
"Et-et, tunggu!" Tiba-tiba Valen menarik tanganku. "Gue mau ngomong sama lo bentar," katanya.
"Nggak!"
"Ih, seriusan! Sini lagi, sih!"
Aku menarik tanganku yang digenggam Valen dengan kesal, lalu kembali bersandar di ujung jendela. Setelah beberapa detik, Valen akhirnya berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Drummer [Completed]
Roman d'amourKedua mata Valen tenggelam dalam kesedihan saat menatapku. Tangan kirinya diselipkan pada lingkar pinggangku, menarikku dengan sopan. Sementara tangan kanannya menelusuri pipi kiriku dengan punggung jari telunjuknya sambil bergumam, "Elian." Aku ter...