Bagian 11: "Mau."

2.4K 266 130
                                    

Ntap, gæs. Ada Valen di atas menatapmu lekat.

Part yg ini mungkin agak kudu dibaca bener-bener biar dipahami. I know. Demi kisah yang (agak sedikit) berfaedah.

But seriously, kalau ada yg dirasa ngawang, komen aja, okeh? Aku bakal ngejelasin se-crystal clear mungkin demi kamuh 😙

Also, terima kasih banyak banyak banyakkkk sekali akhirnya ceritaku ini tembus 2k hits. Astaga, aku senang parah. Terima kasih, temansss 🙆🙆

As usual, sampai jumpa 3 hari lagi!

***

Saat ini pukul 21.09 WIB. Luka Valen di pelipis, ujung bibir, dan ujung mata kirinya baru selesai dirawat dan diperban. Sementara itu, air mataku juga sudah kering.

Aku duduk di kursi samping ranjang Valen, membantu membungkus kembali alat-alat perban. Dokter Haifa sekarang sedang mengusap perut berotot Valen dengan lembut menggunakan sebuah obat salep. Ada sedikit luka memar di sana.

Valen nampak lemas sekali. Kedua matanya terpejam. Sepertinya dia sudah tertidur. Sang pejuang Ibu sudah tidur.

Selama proses pengobatan tadi, aku menceritakan semuanya pada Dokter Haifa. Dokter adalah teman sejawat Joanna dan pengasuh Valen sejak kecil. Jadi saat dia datang tadi, gerakannya sangat sigap, namun kedua matanya tetap berbinar sedih.

"Ini bukan pertama kalinya, El," kata Dokter tiba-tiba. Kedua matanya nampak kosong memandang Valen.

Aku menoleh dengan sedih. Nampaknya begitu. Sangat terlihat dari cara Valen mempertahankan Mamanya tadi.

"Saya benar-benar berterima kasih sama kamu, Elian. Entah apa yang bakal terjadi kalau kamu nggak ada," kata Dokter Haifa, menoleh padaku dengan raut wajahnya yang sedih.

Aku terdiam menunduk. Aku juga tidak akan mampu membayangkan apa yang akan terjadi pada Valen jika tidak ada orang lain di sisinya. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan.

"Besok pagi setelah dia bangun, kasih ini, ya El," pinta Dokter Haifa, menyodorkan beberapa plastik obat kepadaku. "Saya harus balik lagi ke rumah sakit. Besok pagi-pagi, saya ke sini lagi buat check up Valen."

Aku mengangguk patuh. "Terima kasih banyak, Dokter," kataku dengan penuh syukur.

"El," sergah Dokter Haifa, menggenggam tanganku dan memandangku dengan lekat. "Terima kasih banyak."

Lagi-lagi ucapan itu. Aku hanya menggigit dalam bibirku dan menunduk, tidak tahu harus merasa bagaimana.

Dokter Haifa membelai kepala Valen, lalu menggenggam bahuku, sebelum akhirnya pergi keluar kamar dengan tas jinjingnya.

Aku memandang wajah tertidur Valen yang nampak begitu damai setelah apa yang terjadi barusan. Wajahnya menghadap ke arahku dengan kedua mata terpejam. Sepertinya dia sedang berada di alam mimpi.

Kejadian tadi kembali merasuki pikiranku. Masih sangat jelas. Bagaimana Papa Valen memukul Valen, perlakuannya hampir sama dengan Bapak terhadapku. Bedanya, Valen berani membela dirinya sendiri. Dia berani mengatakan apa yang berhak dia dapatkan. Aku tidak demikian.

Aku segera menutup wajahku saat air mata mendadak kembali mengalir di kedua pipiku, menangis dalam keheningan atmosfer kamar Valen.

Amarah Papa Valen. Amarah Bapak. Pukulan Papa Valen. Pukulan Bapak. Teriakan Valen. Teriakanku. Dadaku pun sesak lagi.

The Drummer [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang