Jilbab hitam, Kemeja pink, celana hitam, dan sepatu vans hitam. Tidak terlalu buruk. Nilai (Namakamu) sambil menatap pantulan bayanganya sendiri di cermin.
Semalam Tania memberitahunya bahwa Tania akan menjemput (Namakamu) jam delapanan dan acara gath gabungan Soniq dimulai jam sembilan. Kemungkinan waktu mulai acaranya akan molor. Seperti kebanyakan acara, biasanya kan memang begitu. Tapi kalau panitianya dapat mengatur dengan baik, acara bisa dimulai tepat waktu, tidak kurang dan tidak lebih. Jangankan acara, kadang jam tayang film di bioskop pun juga sering molor.
(Namakamu) mengamati penampilanya sekali lagi. Kali ini dia agak ragu. Menurutnya penampilannya kalau di lihat - lihat agak aneh. Mungkin sepatu. Mungkin juga jilbabnya. Ganti gak ya? (Namakamu) berpikir sejenak lalu melihat jam dinding di kamarnya. Sebentar lagi sudah jam delapan. Tidak ada waktu lagi. Dari pada nanti Tania nyerocos karena ia memperlama waktu yang mengakibatkan mereka telat datang ke acara gath gabungan Soniq. Maka dia memutuskan tidak merubah penampilanya. Memangnya siapa juga yang mau mengomentari penampilanya?
Dengan segera dia mengambil ransel mininya dan bergegas ke ruang makan untuk sarapan. Sesampainya disana dia langsung duduk di kursinya.
"Pagi - pagi cucu kakek sudah cantik. Mau kemana ini cucu kakek?" tanya kakek (Namakamu) mengamati penampilan (Namakamu). Papa dan Mama (Namakamu) pun ikut menatapnya dengan pandangan heran.
(Namakamu) tersenyum semanis mungkin, "Mau belajar kelompok kek."
"Yahhh, padahal mama mau ngajakin kamu jalan." keluh mamanya. Kalau dilihat - lihat, pagi ini mamanya juga sudah rapi.
"Paling mama ngajaknya arisan." jawab (Namakamu). Dia sudah hapal. Keseringan mamanya mengajaknya ke acara arisan mama - mama sosialita yang akhirnya dia malah dikacangin dan kebosanan sendiri.
Tepat ditegukan terakhir susu coklatnya, Tania datang. "Pagi om, tante, kakek." Sapa Tania kecuali kepada (Namakamu) dan pembantu yang mengantarnya masuk ke ruang makan.
"Temannya (Namakamu) ya? Duduk dulu. Kamu namanya siapa?" tanya mama (Namakamu).
"Iya tante, saya Tania. Teman satu - satunya anak tante di kelas." jawab Tania. Mata (Namakamu) melebar menatap Tania. Kok bisa - bisanya Tania bilang begitu? (Namakamu) malah terlihat tidak bisa bersosialisasi. Padahal kalau dipikir ulang ada benarnya juga ucapan Tania. Dia tidak punya teman dekat kecuali Tania. Bahkan dia tidak terlalu akrab dan dekat dengan teman sebangkunya sendiri.
"Oh ya? Maafin anak tante ya. Dia itu dari dulu emang gitu. Waktu di Jakarta temennya juga cuma Iqbaal." (Namakamu) mendengus sebal. Bisa - bisanya Mamanya berpihak pada Tania. Pakai bicara tidak mendasar fakta pula. Di Jakarta kan temannya bukan cuma Iqbaal.
"Iya tante. Saya sih gak keberatan. Saya pamit dulu tante, om kakek. Saya tadi mau jemput (Namakamu). Kita mau jenguk temen kita." kata Tania meminta izin. (Namakamu) meringis mendengarnya.
Poor you (Namakamu)
"Lohh, tadi Kinan bilangnya sama kakek mau belajar kelompok kan? Yang bener mau kemana?" tanya kakeknya.
"Jenguk temen." (Namakamu).
"Belajar kelompok." Tanai. Mereka menjawab secara bersamaan. Memunculkan rasa bingung juga curiga tiga orang tua yang duduk di ruang makan. Terutama papa (Namakamu)."Lohhh, yang bener kemana? Atau kalian bohong ya?" Tuding papa (Namakamu).
"Enggak kok pa, kita mau jenguk temen dulu, terus belajar kelompok. Yaudah (Namakamu) sama Tania berangkat dulu. Assalamu'alaikum." Jawab (Namakamu) dan dengan buru - buru ia segera berpamit.
"Wa'alaikum salam."
"Hati - hati." pesan mama (Namakamu) sebelum (Namakamu) dan Tania melangkah.