"Then there's you at the end of my parched world."
Hidup seperti ini tidaklah mudah. Ketika kau melihat orang-orang berlari bahagia dibawah pohon cherry blossom yang bermekaran, kau tidak akan bisa berbohong bahwa dirimu juga menginginkannya. Kau iri tentu saja. Siapa yang tidak merasa cemburu ketika seharusnya kau bisa bergabung dengan mereka, bermain bersama, bepergian bersama, tertawa bersama dan yang terpenting merasa bahagia?
Aku hanyalah perempuan ringkih yang hidupnya tidak bisa lepas dari kursi roda. Yah, aku tidak bisa memfungsikan kakiku sesuai kegunaanya. Ini cerita lama sesungguhnya. Aku tak ingin menceritakan kepada kalian mengapa aku berakhir seperti ini. Terlalu menyakitkan. Pada intinya, aku mencoba melompat dari atap gedung sekolahku. Aku pikir aku akan mati, tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Dan aku tau Tuhan marah padaku. Karena itulah ia mengambil kakiku. Meyedihkan bukan?
Selama 3 tahun penuh aku sudah duduk diatas kursi rodaku ini. Satu-satunya alat yang membantuku untuk berkeliling –walaupun aku benci mengatakan ini– dan satu-satunya alat yang membantuku menemukannya. Ya, laki-laki itu. Yang selalu tersenyum lebar kepada siapa saja dan bahkan ia tak terlihat memiliki beban sedikitpun dalam dirinya. Laki-laki yang selalu kutemui di lobby rumah sakit setiap aku memeriksakan kakiku.
Hari ini adalah jadwal pemeriksaan rutinku, dan aku sangat tidak sabar untuk segera pergi ke rumah sakit.
"Nuna, kau semangat sekali hari ini? Ada apa?" Jeno, adikku yang sangat tampan itu bertanya keheranan. Kerutan-kerutan halus muncul di dahinya. Kebiasaannya ketika sedang merasa bingung.
"Tidak. Aku biasa saja."
"Hm? Kau berbohong. Aku tau kau bersemangat untuk pemeriksaan kali ini. Lihatlah, kau bahkan menghabiskan waktumu untuk berdandan padahal ini hanya pemeriksaan seperti biasanya. Kau terlihat mencurigakan."
"Ya. Sudah kukatakan aku terlihat biasa saja. Mungkin kau salah melihat, lagipula kau tau nunamu ini tidak suka berdandan huh?" Jeno tetap memasang wajah curiganya. Sepertinya dia tidak percaya padaku.
Sebenarnya, ya. Jeno benar. Aku memang berdandan hari ini. Dan ini untuk laki-laki itu. Entah sejak kapan kehadirannya mencuri perhatianku. Senyumnya bahkan selalu terlukis indah di otakku setiap saat. Kadang aku berpikir, apakah aku mulai gila? Tapi kalian percayalah, senyumnya memang sangat manis. Dan sangat sulit untuk menolak pesonanya.
"Ah sudahlah. Terserah nuna saja. Aku pergi ya." Dengan begitu Jeno berbalik dan melangkah menuju pintu. Anak itu selalu pergi setiap sore sepulang sekolah. Entah pergi kemana.
"Hati-hati Je-ya"
"Eo."
Selang beberapa menit Jeno pergi, bibi Kim –bibi yang selalu mengantarku terapi–mengajakku bergegas untuk ke mobil. Dengan telaten perempuan paruh baya itu mendorong kursi rodaku. Di sana, Park ahjussi –sopir kebanggaan keluarga kami– sudah siap menungguku dan membantuku untuk masuk kedalam mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
NCT Oneshoot Series
FanfictieSekumpulan oneshoot romance dengan anak-anak NCT sebagai pemeran utamanya.