Chapter 7

22 1 0
                                        

"Permisi." Fanny menghampiri satpam tadi. "Apa kau tau arti dari kalimat 'apa kau mengenalnya?' (dalam bahasa Korea) dalam bahasa Inggris?" Tanyanya.

Pria itu mengangguk, "artinya adalah 'apa kau mengenalnya?' nona." Jawabnya.

Kata-kata itu masih mengganggu pikirannya meskipun ia sudah berusaha keras untuk melupakannya. Fanny sama sekali tidak menyangka mengapa Min Ho, idolanya itu bisa dengan cepat melupakannya. Padahal seperti baru kemarin mereka saling mengutarakan leluconnya. Bahkan mereka mengambil beberapa gambar bersama dan berlari dibawah langit gelap bersama. Apakah Min Ho benar-benar sudah melupakan semua kenangan itu? Semudah itukah? Atau Fannylah yang terlalu berharap lebih?

Iya. Sepertinya Fannylah yang terlalu berharap lebih. Min Ho adalah seorang aktor terkenal, bukan di Indonesia. Tapi di Korea Selatan, di luar negeri. Tidak akan mudah bagi siapapun untuk mendekatinya, terlebih Fanny yang hanya sebatas penggemar beratnya. Seharusnya Fanny tidak terlalu berharap banyak seperti penggemar-penggemar yang menang undian lainnya. Sungguh ini bukanlah kesalahan Min Ho, melainkan kesalahan dirinya sendiri.

Ia berjalan menyusuri jalanan Seoul dengan perasaan berkecamuk. Rasanya tidak ingin pulang, malu. Ia tak sanggup menceritakan kejadian hari ini pada Fika dan yang lainnya. Bagaimana ini? Mengapa hal ini memalukan sekali?

Fanny memilih untuk memasuki sebuah cafe. Ia belum pernah memasuki cafe tersebut sebelumnya. Dari desainnya, terlihat jelas bahwa cafe ini ditujukan untuk anak muda. Ia memilih duduk dimeja didekat jendela besar yang langsung menembus kejalanan. Posisi itu adalah posisi yang selalu dicarinya ketika memasuk sebuah cafe. Setelah memesan minuman, ia kembali merenungkan kejadian pagi tadi.

Drrrtttt...drrrrtttt....

Ponselnya berdering. Nama 'Fika' muncul disana. Ia mengklik tombol hijau untuk menjawabnya.

"Lo dimana?"

*****

"Fanny, lo gak papa?" Fika memegang tangan sahabatnya itu yang kini tengah menangis.

Fika baru saja tiba setelah ia menelepon Fanny beberapa menit yang lalu. Sahabatnya itu terlihat sangat tertekan saat ini. Fika mengerti dengan apa yang dirasakannya. Ketika seseorang berharap terlalu banyak, ia pasti akan sangat sakit jika ternyata yang terjadi tidak sesuai yang ia harapkan. Itu juga yang Fika rasakan terhadap Rian. Ia telah menggantungkan banyak harapan dan seperti inilah jadinya, hanya sakit yang ia dapat.

"gue nggak nyangka dia lupain gue gitu aja." Fanny masih terisak. "padahal dia janji mau masakin gue ramyeon, Fik. Gimana gak sakit banget coba."

Fika masih menggenggam tangannya, "Iya Fan gue ngerti kok. Gue tau gimana rasanya."

"Sekarang gue mesti gimana? Gue benci banget tapi gue masih pengen ketemu dia. Gue masih pengen mastiin dia bener-bener ngelupain gue atau gak."

Fika berpikir sejenak, "oke, besok gue temenin lo kesana lagi. Kalau dia gak ngenalin lo juga, lo harus janji sama gue buat lupain dia. Gimana?"

Fanny mengangguk. "gue janji." Ucapnya.

*****

Harapan...

Lagi-lagi harapanlah yang merusak segalanya. Apa salah jika kita menggantungkan harapan yang besar terhadap seseorang yang memang kita butuhkan? Apa salah jika harapan itu berlebihan? Sungguh, tidak ada yang ingin melebih-lebihkan harapan yang ia miliki. Harapan itu hanya datang dengan sendirinya dan berkembang seiring berjalannya waktu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu. Termasuk Fika... Fanny... dan siapapun itu.

PredestinationWhere stories live. Discover now