CHAPTER 8

277 56 11
                                    

Lagi-lagi Jae In melirik arlojinya. Sudah sepuluh menit berlalu dan orang yang ditunggunya juga tak kunjung datang. Dikulumnya bibirnya. Mendadak rasa gugup menyelimutinya. Tampang apa yang harus ditunjukkannya pada Myungsoo? Apa ia akan tetap akan menyapa Myungsoo seperti biasa atau malah tersenyum lebar? Apa gadis itu harus mengatakan "apa kabar? Aku sudah menunggu lama, lho."? Tidak. Rasanya itu terlalu berlebihan baginya.

Sejak hari itu, Jae In mendadak merasa serba salah setiap kali ia bertatap muka dengan Myungsoo. Tapi hari ini ia tidak bisa lagi menghindarinya. Jika Jae In ketahuan membolos privatnya ini, maka akan tamatlah riwayatnya.

Ya, saat ini gadis itu sedang menunggu Myungsoo, guru privatnya di sebuah taman kota yang cukup ramai. Ia duduk di sebuah gazebo panjang yang tersedia di sana. Tubuhnya menghadap air mancur. Di sana terlihat beberapa pengunjung yang sedang bermain air ataupun hanya sekadar berfoto. Jae In menghembuskan napasnya. Ia ingin sekali ke sana, namun ia harus menunggu Myungsoo yang ternyata terlambat dari jam yang telah ditentukan.

"Apa kau sudah menunggu lama?"

Jae In sedikit terlonjak dari bangkunya. Lelaki itu terkikik di tempatnya, puas akan reaksi terkejut Jae In yang lucu. Gadis itu terlonjak dengan berteriak pelan. Entah mengapa suara Jae In mendadak seperti suara kucing yang terjepit.

"Kau mengejutkanku!" seru Jae In sambil memegangi dadanya.

Myungsoo masih saja tertawa. Lelaki itu kemudian duduk di sebelah Jae In. Ia meletakkan tas punggung di sebelahnya lalu mengeluarkan beberapa buku dari sana. Jae In menatap judul buku-buku tersebut. Buku tebal yang tampak mengerikan bagi siswi akhir tahun namun justru menyenangkan bagi Jae In. Wajar saja, gadis itu memang suka dengan hal berbau belajar. Baginya, bergulat dengan rumus itu mengasyikan.

"Oh." Myungsoo bergumam. "Ada sesuatu yang melengkapi kita hari ini."

Jae In menatap Myungsoo bingung. "Apa?"

Myunysoo tersenyum misterius. "Tadaa~!" lelaki itu mengeluarkan sebuah kamera digital dari belakang tubuhnya. Bukannya senang, Jae In malah menatap Myungsoo bingung.

"Kamera digital? Untuk apa?"

Myungsoo berdecak begitu menyadari sensor kepekaan Jae In yang sangat lemah. "Apa maksudmu? Aku hanya ingin mengabadikan momen kita berdua. Apa itu salah?" ucapnya dengan nada kecewa. Bibirnya dimajukan beberapa senti.

'Momen kita berdua' katanya? Memangnya kita ini apaan?

"Terus?"

"Terus?" beo Myungsoo heran. "Kau ini! Ya tentu untuk kenangan ketika kau lulus! Aku tidak mau kau melupakanku dengan begitu mudah setelah beberapa jasa yang kulakukan untukmu."

Beberapa jasa? Memang apa yang kau lakukan padaku?

"Begitu." balas Jae In singkat. Myungsoo telah kembali menyunggingkan senyum. Ia mengangkat kameranya lalu memotret Jae In yang sedang asyik menatap ke depan dengan tenangnya. Bunyi 'cekrek' dari kamera Myungsoo menyadarkan gadis itu yang membuatnya menoleh.

"Lihat! Hasilnya bagus, kan? Aku cukup baik dalam hal ini." Myungsoo menunjukkan hasil jepretannya dengan nada yang ringan, terdengar seperti seorang anak kecil yang senang diberi hadiah.

Jae In ikut melongokan kepalanya untuk melihat hasil jepretan Myungsoo. "Lalu apa yang akan kau lakukan dengan ini?"

"Tentu saja akan kusimpan dalam album." ucap Myungsoo sambil menepuk-nepuk album yang entah sejak kapan telah berada dalam pangkuannya.

Jae In mengangguk-angguk paham. "Kalau begitu, apa kita bisa memulai belajarnya?"

"Ah, aku sampai lupa soal itu." desis Myungsoo. "Baiklah ayo kita mulai belajarnya."

First Snow & First KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang