Part 2

20 4 0
                                    


Kayuh demi kayuh, aku mengayuh sepedaku menuju rumah. Gara gara Pa Saridjan tadi, aku pulang dengan suasana menuju gelap. Tanganku yang pegal pegal menghapus puluhan PaPan tulis sore tadi, hukuman tambahan sebelum skorsing. 

So capek! Untung saja sudah dekat rumah, namun jalanan yang nanjak dan mudun ini membuat ku kesulitan membawa sepeda. Aku mengambil handphone sambil memegang stang sepeda untuk membesarkan volume earphone, karna suasananya cukup gelap dan sedikit tegang hampir melewati kuburan warga.

'Grrkkkk grrrkkk' stangku tiba tiba oleng, dan muncul REMAJA LELAKI MEMAKAI JAKET HODIE DAN MASKER. 

Aku pun menabrak ke arahnya, namun dia malah memegang stangku dan mendorong sepedaku ke pinggir jalan. Aku semakin oleng mengarah ke turunan berisikan lahan kosong, handphoneku sudah terlempar jauh entah kemana.

'DRRRTTT' sepedaku malah melaju semakin cepat seperti ada yang mendorongku. Kulihat dari spion sepedaku, pria itu mendorong sepedaku dengan kakinya suPaya aku jatuh ke lahan kosong itu. 

'GUBRAKKK!!!!' aku pun jatuh terlemPar jauh. Terguling guling hingga beberaPa putaran saja, dan sepedaku meluncur kearahku dan 'BUGGG!!!' mengenai lututku.

"Akkkhh... sakit akkhh.. siapa kau?!! Berani lawan saya sekarang!!" ucapku bangkit dengan pincang dan berteriak sendiri. Namun tak ada bayangan lelaki itu, tapi aku yakin dia yang mendorong sepedaku hingga jatuh seperti ini. Tetesan darah terus mengalir dari siku dan lutut ku. Ku kuatkan diriku, aku adalah perempuan tangguh tidak boleh menyerah. 

Aku pun mengangkat sepeda yang sudah kotor dengan tanah, jalan pincang menuju rumahku yang berada 10 meter di depan mataku.

"Assalamualaikum, jangan tanya aku kenapa, aku bisa mengobati lukaku sendiri, aku berjanji akan lebih menjaga diri!" salamku, beserta ucapanku tanpa jeda dengan tegas. Niatku adalah menegaskan bahwa terror yang mereka bincangkan sejak tahun lalu itu mulai hari ini dimulai. 

'BLAGGG!! Cekrek!' aku membanting pintu kamar sambil menguncinya. Menyandar Pada pintu dan berusaha mendengarkan pembicaraan ayah, Paman, dan kakakku.

Secara tidak sadar, aku mengeluarkan air mata. Untuk kesekian kalinya aku menangis, karna hidupku dibatas dengan banyak ancaman. Menahan rasa lukaku tadi jatuh, aku sambil merenung yang ditemani linangan air mata. Inikah permulaan? Apakah aku adalah sasaran balas dendam? 

Seketika aku menjadi benci Paman dan Kak Beni, mereka membunuh/mencelakakan orang seenaknya mereka demi pekerjaan, dan membuat nyawaku terancam. Secara tidak sadar, mereka mempermainkan nyawaku. Tapi mereka menjagaku dengan 5 bodyguard di rumah ini. Aku masih tidak mengerti situasiku ini, tangisanku tidak berarti aPa aPa untuk mereka. 

"Ini permulaannya?"--"namun siaPa dalangnya kali ini?"—"kita sangat bersih dalam melakukan pekerjaan"—"saya yakin ini bukan dari client penghianat kita"—"kita kan masih belum tahu"—"Permata kita sedang berbahaya"—"aku pun khawatir dengan Nupi ayahh"—"ssstt jangan sebut nama!"—"dia Pasti sedang mendengar kita"—"ayo,balik ke basecamp"—"kita bicarakan masalah ini disana"—"Guard! Jaga Nupi,kami pergi" pembicaraan mereka dengan mudahnya ku tangkap.

Jutaan rasa perih saat mengobati luka ini, sama perihnya dengan hatiku tentang yang mereka sembunyikan tentangku. Aku adalah permata? ARRRGHHH!!! Kulempar semua obat yang sedang kupakai, aku tempelkan plester Pada lukaku. Dan menuju halaman belakang, dan melewati pintu kebebasanku dimana aku bisa kabur lewat jalan sini. Hanya kak Beni yang tahu jalan ini. Aku menyusuri pohon pohon kecil, menuju pintu keluar rahasiaku.


Attack YourselfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang