TPG

37 8 11
                                    

"Ibu terlihat lelah sekali," ucap salah seorang CS disebuah bank.

Hari itu bunda Ermi sedang mengantri di salah satu bank ternama untuk mencairkan TPG (tunjangan profesi guru).

Tiba-tiba salah seorang pemuda yang tidak lain CS (customer service) di bank tersebut mendatangi dan mencium tangannya.

"Mari ikut saya," kalimat selanjutnya yang diucapkan pemuda itu.

Bunda Ermi diajak masuk ke ruangan pemuda tersebut.

"Teringat 23 tahun yang lalu, Bunda dengan tulus mengajar kami. Setiap akhir bulan Bunda hanya diberikan sekantong beras dan seplastik minyak goreng sebagai imbalan telah membimbing kami. Saya masih ingat sampai sekarang, Bunda." Kalimat pemuda itu meluncur dengan deras ketika keduanya telah masuk dan duduk di ruangan, membuat bunda Ermi tertegun.

Ternyata ada salah satu anak didiknya yang masih mengingat peristiwa 23 tahun lalu, padahal bunda Ermi sudah melupakannya.

Dua puluh lima tahun mengabdi sejak lulus SPG, membuat bunda Ermi telah memiliki anak murid yang begitu banyak. Tak ada sedikitpun secercah harapan untuk diangkat menjadi PNS. Beliau bersyukur sekarang ada perhatian sedikit dari pemerintah dengan memberikan TPG bagi guru non PNS dengan syarat dan ketentuan yang berlaku, meski terkadang tersendat.

***

"Bunda maaf, karena waktu kita sempit sementara masih banyak antrian diluar sana, kita tidak bisa lama-lama ngobrol," kalimat selanjutnya dari pemuda itu.

"Begini saja, bunda tinggalkan nuptk dan nomor telepon," lanjutnya.

Bunda Ermi pun mencatat nuptk dan nomor telepon tanpa banyak berkata-kata karena masih tertegun dengan peristiwa yang baru saja terjadi.

Setelah TPG dicairkan, bunda Ermi kemudian pamit pulang dan mengucapkan terima kasih kepada CS tersebut. Tak lupa pemuda yang merupakan CS di bank itu mencium telapak tangan bund Ermi sebagai tanda bakti.

Sepanjang jalan bund Ermi berpikir, untuk apa pemuda itu meminta nuptk, apalagi nomor telepon guru yang sudah tua ini.

Belakangan bund Ermi tahu, ternyata setiap pencairan TPG, oleh pemuda itu langsung didebitkan ke rekeningnya,  kemudian mengirim pesan singkat ke bunda Ermi, sehingga beliau tinggal mengambil uangnya menggunakan ATM. Tak perlu lagi berbagai macam pemberkasan dan antri di bank.

Bahagianya memiliki seorang anak didik yang bisa memuliakan, perasaan tersanjung dan melambung tinggi angan menembus batas dinding langit kesyukuran.

***

Perjuangan untuk mendapat TPG tidak mudah, begitu pun yang dialami Bunda Riri. Beliau bercerita bagaimana  memperjuangkannya.

Setelah sekian lama mengabdi, dengan keterbatasan, bunda Riri memutuskan untuk menggali ilmu kependidikan dengan kuliah D2. Mesti dengan tertatih akhirnya selesai juga kuliah yang dia tempuh.

Beberapa tahun kemudian ternyata aturan pemerintah berubah, bahwa kualifikasi guru minimal S1/D4.
Sedih rasa hati bunda Riri, belum lagi bisa bernafas lega mesti sudah susah payah menempuh pendidikan D2 dengan biaya mandiri, yang tentunya tidak cukup hanya mengandalkan honornya sebagai guru di desa.

Namun apa dikata, sebagai guru yang baik,  harus taat peraturan. Bersyukur dapat tunjangan kualifikasi akademik 2 kali sehingga dapat mengurangi beban menyelesaikan pendidikannya.

Lulus S1 kemudian mendapat undangan PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) selama 10 hari, ujian dan lulus.

Belum berhenti sampai disitu, begitu manis jika dikisahkan di lika-liku sang guru.

Waktunya mengambil sertifikat pendidik namun menurut dinas pendidikan bunda Riri tidak layak mendapatkan sertifikat tersebut. Seperti disambar petir disiang bolong yang sangat terik.

Badan lesu, lidah kelu, lemah lunglang seperti tulang-tulang telah rontok, tak berdaya, seperti banyak kunang mengitari kepalanya membuatnya terduduk kaku.

Seperti inikah hasil akhir dari perjuangannya yang tertatih menyelesaikan pendidikannya. Bahkan untuk mendapat sebuah sertifikat pendidik supaya beliau diakui sebagai guru profesional urung terkabul, mesti sudah lulus PLPG.

Apa artinya lulus PLPG, namun tidak dapat sertifikat dan NRG (Nomor Regristasi Guru)...

***

Setahun telah berlalu, bunda Riri terus mencari informasi tanpa putus asa.

Akhirnya ada sedikit titik terang yang  beliau dapatkan dari seorang guru SMK yang menyarankan untuk pergi ke Kemendikbud saja.

Setelah berembug dg 4 orang teman yang memiliki permasalahan sama, dari TK Satu Atap maka tepat di awal bulan Oktober 2014 bunda Riri bersama 2 orang teman pergi ke Jakarta.
Dengan menumpang kendaraan milik salah seorang teman satu sekolah, tepat pukul 7 pagi, bunda Riri sudah berada di halaman parkir kemendikbud.

Perjalanan semalam suntuk berasa begitu lama, seperti nya jam berhenti berdetak, laju kendaraan berhenti berputar, mata tak bisa terpejam, karena gundah berkecamuk di dada.

Sungguh suatu hal yg tidak pernah terbayang sebelumnya, melihat orang berlalu-lalang, berusaha memahami situasi sebelum masuk ke sebuah gedung, yang belum pernah terpikir sebelumnya.

Kapasitas memori yang sedikit dari informasi yang bunda Riri dapat,  yang dituju adalah gedung D lantai 33 untuk mencari info tentang NRG.

Sebelum naik lift, bunda Riri segera sadar, "lhooo... ini khan untuk Dikmen?".

Bunda Riri kemudian meminta maaf kepada petugas di bagian informasi, karena salah masuk.

Alhamdulillah petugas disana baik banget, kemudian menyarankan kepada bunda Riri menuju ke gedung E.

Setengah berlari beliau bersama teman satu TK menuju gedung E yang jaraknya lumayan, sampai melupakan teman yang satu tertinggal. Untung suara sepatu si ibu ini cukup keras hingga membuatnya tersadar.

"Maaf ya Bu, sampai ketinggalan."

Sesampai di gedung E, semua ditanyakan yang berkaitan dengan keberadaan TK satu atap yang ternyata ada 700 se Indonesia, wow...

Setelah semua solusi untuk lembaga beliau dapatkan maka dilanjutkan ke gedung C untuk mencari kejelasan nasib PTK.

Alhamdulillah semua yang beliau temui baik hati dan mau membantu.

***

Bersambung

Lika-liku Sang GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang