Satu hal yang ia sadari ketika sampai di rumah sakit. Dia melupakan Huda...ia mengambil hp nya dan menelpon Huda. Tapi yang menjawab adalah operator.
'Dia pasti tambah benci...'
Setelah kerabat Rio datang, Rica mohon pamit dan segera menuju ke bandara, dia menuju gate kedatangan pamannya tapi setengah jam ia menunggu hasilnya nihil. Dengan pasrah, ia memutuskan kembali ke rumah dan menerima kemarahan Huda...lagi.
"Kak Huda?" Rica membuka sedikit pintu kamar Huda.
"Hm?"
"Maaf."
Suara kertas yang sedang di-print memenuhi kamar Huda, ia tidak mempedulikan Rica yang berdiri di ambang pintu dan tetap fokus dengan komputer di depannya.
"Kalo nggak ada yang penting, mending lo pergi. Ganggu aja," ucap Huda dingin.
"Maaf," lirih Rica sebelum menutup pintu.
Huda menghembuskan nafasnya, ia kelelahan. Skripsinya hampir deadline tapi untung dia dapat menyelesaikannya. Ia memijat pangkal hidungnya. Mata, kepala, semua anggota tubuhnya sangat kelelahan.
Suara printer telah berhenti, ia melihat tumpukan kertas yang sangat banyak. Ia harus memeriksanya lagi, sedikit saja salah ia harus mengulangnya dan itu sangat melelahkan juga menyebalkan.
"Nanti malem ajalah."
....
Dengan mengaduk kopi hitamnya, tangan kiri Rica yang bebas digunakannya untuk bermain hp. Tanpa memperhatikan jalan ia membawa kopi panasnya tapi saat melewati ruang keluarga ia melihat televisi yang menyala dan sedang menayangkan kartun kesukaannya.
Karena terlalu semangat ia tersandung karpet tebal di bawah meja dan menumpahkan kopinya di meja itu. Rica mengibas-ngibaskan tangannya karena terkena air panas. Untung gelas itu tidak pecah tapi kopinya membasahi tumpukan kertas yang kelihatannya penting.
Ia mengambil tumpukan kertas itu dan saat itu pula ia berharap bisa menghilang, tumpukan kertas itu adalah skripsi Huda dan baru saja ia hancurkan dengan kopi. Matilah dia!
"Lo ngapain?" suara bariton dari belakangnya membuat tubuhnya menegang. Itu suara Huda.
Rica membalikan badannya, menyembunyikan skripsi Huda di belakang tubuhnya, dan berusaha tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. "Nggak ngapa-ngapain." jawab Rica menahan rasa takutnya.
Mata Huda tertuju pada meja kaca yang kotor karena kopi, matanya langsung menatap Rica tajam. "Dimana skripsi gue!?"
"Eh...hm...itu--"
"Dimana!?" suara Huda mulai meninggi.
Air matanya sudah tidak dapat ditahannya karena rasa takut dan rasa bersalahnya. Dengan tangan gemetaran, ia menunjukan skripsi Huda yang sudah basah dan rusak karena ulahnya.
"Ha?" Huda menganga tidak percaya.
"Ma...maaf," lirih Rica.
Huda merebut tumpukan kertas itu dengan kasar lalu membantingnya ke lantai. Kaki dan tangan Rica terus gemetaran sementara Huda terus mendekat dengan tatapan yang berapi-api.
"Aww..." Huda mencengkram rahang Rica dengan tangan kirinya.
"Lo kira kata maaf lo itu cukup huh!? Gara-gara otak goblok lo, hasil kerja gue rusak!!"
"Ak-aku nggak... sengaja, Kak." Susah payah ia menjawab karena rahangnya ditahan.
"Dari lo lahir sampe sekarang, lo cuma bisa buat masalah dan bisa lo cuma nyusahin orang di rumah ini!" ucapan dingin Huda kali ini membuatnya tambah sakit, air matanya terus mengalir diiringi isakan dari mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My PROMISE
Teen Fiction"Dasar bocah manja!! Ini bukan masalah tanggung jawab atau apa, tapi masalahnya itu lo! Karena lo ada di dunia ini!!" "Sebenernya aku salah apa? Oke, aku akui aku ceroboh karena ngerusak tugas kakak tapi... apa yang buat kak Huda segitu bencinya sam...