MP-16 : Sial

108 9 7
                                    

Sedari tadi tangan kirinya tidak pernah keluar dari kantong jaketnya, menggegam sesuatu yang berbentuk tabung sampai tangannya berkeringat, "apa ini?" Dr. Fahmi menatap tabung itu dan kemudian ia sadar.

Dokter itu tersenyum dengan manisnya dan terlihat bahagia, "akhirnya..."

-- -- --

Tubuhnya menegang, raut wajahnya berubah, 'a-apa maksudnya?'

"Saya senang akhirnya, salah satu kalian tau rahasia Rica."

"Sejak... kapan?" tidak pernah dalam hidupnya ia seragu ini.

Dr. Fahmi tampak berpikir, mengingat-ngingat dan akhirnya menjentikan jarinya, "aha! Saya lupa!!"

'Kalau dia lebih muda, gue pasti dah nonjok tu wajah!'

Tatapan Dr. Fahmi kembali serius, "saya bercanda, tidak mungkin saya lupa. Sejak Rica menginjak kelas 8, dia sangat syok saat itu, saya dipercaya ayah kalian menjadi dokter spesalis Rica. Awalnya sulit menghadapi remaja labil seperti dia, yang lebih sulit adalah menjadi ramah, itu bukan sifat saya. Tapi beberapa bulan kemudian saya sadar, dia gadis yang sangat baik, benar-benar baik. Sikapnya yang diluar kendali hanya untuk pelarian dari keadaan dirinya, setidaknya itu cara yang baik dari pada ia terus sedih dan tidak punya semangat hidup atau bunuh diri."

Baru kali ini Huda memeperhatikan omongan orang asing dengan sangat serius. Ini mustahil, Rica menyembunyikan penyakitnya dengan baik selama ini... setidaknya itulah yang dipikirkan Huda. "Berhubung kamu sudah tau penyakit Rica, bisakah saya mengandalkanmu untuk mengawasi Rica setelah ini?"

Tatapannya beralih ke lantai putih yang dipijaknya. Pertanyaan sederhana tapi terdengar rumit di telinga Huda. Seharusnya ia hanya harus menjawab 'iya' tapi kata itu sangat sulit keluar dari mulutnya.

"Huda..." Tatapannya kembali ke Dr. Fahmi.

"Saya sering mendengar nama itu, hampir setiap Rica chek up gadis itu selalu menceritakanmu. Dia beruntung memiliki kakak sepertimu, bahkan Rica sepertinya sangat mengagumimu." Bongkahan batu tiba-tiba berada di kerongkongannya, ia benar-benar sulit menelan ludahnya sendiri. "Dia bahkan tidak pernah mengatakan hal buruk tentangmu." lanjutnya.

'Beruntung? Kagum? Gadis itu memang bodoh!'

....

"Hwaa!!! Aku nggak mau kak! Makanannya nggak enak!!"

"Rica! Lo harus makan, biar lo cepet keluar dari rumah sakit dan biar gue bebas dari tugas jagain bocah labil kayak lo. Sekarang makan!!" ucap Arya, baru kali ini ia marah dengan Rica.

Baru tujuh jam yang lalu dia tersadar dan pemandangan pertamanya adalah dokter tampannya, membosankan. Padahal lebih baik jika anak Dr. Fahmi yang jadi pemandangan pertamanya.

Tok tok tok

"Masuk."

Pintu terbuka dan suara teriakan langsung memenuhi ruangan itu. "DEDEK RICA ABANG ANGEN!!!"

Tanpa dosa Abbas berteriak dan memeluknya, sedangkan dua orang di belakang Abbas hanya acuh melihat sikap konyol Abbas.

"Bas lepasin! Sesek woy!" ucap Rica.

Arya berdiri dan membawa makanannya yang belum berkurang, ia menyerahkan piring itu ke Rico, "dia urusan kalian sekarang, pas gue masuk piring ini harus bersih." Ucapnya datar, sedangkan Rico hanya mengangguk seraya Arya keluar dari ruangan itu.

"Kalian napa kesini?"

"Ya, jenguk lo lah, ngapain lagi. Makan ni." Ucap Rico.

"Ogah!"

My PROMISETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang