BAB 4. Menuju Puncak

4.8K 479 54
                                    

Hari pun berganti pada hari ke empat. Kamis, namanya. Para pendaki telah lengkap bersepuluh untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Perlengkapan termasuk tenda, kembali mereka panggul menggunakan carrier.

Selama perjalanan, para pendaki harus melalui pos tiga dan pos Plewangan; pos terakhir dari pendakian Rinjani.

Berbeda dari pos lainnya. Di pos tiga terdapat sumber air bersih. Berdasarkan pengakuan para pendaki sebelumnya, di sinilah mereka mulai mengisi ulang botol-botol minum dan bersantai sejenak mengumpulkan kembali energi. Namun, medan penanjakan setelah bisa beristirahat, para pendaki dituntut menerjang hutan dan sebuah bukit yang dinamakan bukit penyesalan.

Nama bukit penyesalan tidak hanya ada di jalur pendakian Gunung Rinjani, nama ini lahir karena tumbuhnya para pendaki yang tumbang ketika berusaha menerjang.

Tak tanggung-tanggung, jalur pendakian didominasi oleh tanjakan dan turunan. Ketika menanjak, medan begitu curam dan suhu udara makin rendah. Dingin yang dirasa, tanpa malu-malu sangat menusuk tulang dan persendian. Akan tetapi, Tuahn tak pernah gagal melukiskan karya cipta-Nya.

Seperti kata pepatah, usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Sekeras apa pun usaha yang dilakukan, hasil yang didapat akan sesuai dengannya.
Sepanjang langkah menuju pos tiga, para pendaki disuguhkan oleh pemandangan alam yang tak kalah merayu dari pos-pos sebelumnya.

Langit tampak makin dekat. Awan bergumul dan berpindah tempat seolah lebih nyata. Gemericik air sebelumnya, terdengar begitu harmon disandingkan dengan tarian pepohonan yang terhempas embusan angin.

Populasi monyet kecilpenunggu setia Gunung Rinjanike sana dan ke mari memperhatikan setiap manusia yang berlalu di dekatnya. Mereka saling bercengkerama di antara rumput hijau. Pemandangan yang sangat menghibur mata dan hati. Tersimpul senyum merona di wajah Karina kala menikmati pemandangan di hadapannya.

Setelah pos tiga berhasil dilalui dan tiba di Plawangan Sembalun, kini jalur melandai terhampar luas di pandangan mata. Tak ada pepohonan. Hanya ada daratan yang begitu panjang. Sebuah jurang diam terpaku di sisi ratusan pohon cantigi; tumbuhan mirip edelwis. Pohon itu seolah mengusaikan lelah yang telah memeluk tubuh semaunya. Memohon kepada mata agar diam terpaku memandanginya. Melepas penat dan peluh yang telah bercucuran.

Hari makin terik, mereka telah tiba di Sembalun. Tenda kembali dibuka, istirahat, memberi kekenyangan pada perut, dan ibadah. Di sana, kaldera Gunung Rinjani sudah dapat dilihat. Warna birunya persis seperti laut. Di bagian yang lain, Segara Anaksebuah danautampak menggiurkan. Banyak pendaki yang berebut posisi untuk memancing ikan. Karina asyik duduk di atas batu dekat Segara Anak, memandangi sekitar.

"Ka!" sapa pemuda dua puluh lima tahun itu.

"Eh, Bang El," ucap Karina sekenanya.

"Kok di sini?" Pemuda itu terkekeh, lalu duduk di sampingnya.

Gadis itu tersenyum. "Di sini tenang."

"Kamu kuliah? Di mana?"

Karina mengangguk-anggukan kepala. "Di Bogor."

"Fakultas?"

"Pertanian," jawabnya. "Bang El, kerja?"

"Yoi, jadi kuli." Pemuda itu terkekeh sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling Segara Anak.

Kini tawa Karina pecah setelah mendengar penuturan pemuda di sisinya. "Kuli-kuli duitnya banyak."

El menyeringai. "Bener tau. Kerjaan sering lembur, gaji sama aja."

" Bersyukur dong, Bang."

Di tengah asyiknya mereka berbincang, dengan sengaja Udin dan Adul mengganggu El dan Karina.

3.726 [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang