Bab 9. Penguntit

3.9K 387 5
                                    

Waktu begitu cepat berlalu. Akhir perjalanan Maret tersisa satu pekan. Karina telah menyiapkan alat-alat pendakian. Ia masih belum bertemu Arsel hingga hari itu. Setiap kali ia bertanya soal hubungan Andra dan Arsel, Andra selalu mengatakan kalau hubungan mereka baik-baik saja. Karina cukup percaya.

Sementara itu, beberapa minggu yang lalu Bang Jafar telah sah menjadi suami Mbak Desy—sepupu Andra. Kini hubungan Karina dan Andra tidak lagi sebatas sahabat, melainkan saudara.

Setiap akhir pekan, biasanya Karina berziarah ke makam orang tuanya bersama Bang Jafar, tetapi, sejak pernikahan abang tersayangnya, gadis itu pergi berziarah seorang diri atau ditemani Andra. Seperti hari ini.

"Berangkat kapan, Ka?"

"Rabu malam."

"Jumat bolos dong?"

"Kebetulan di KRS aku ngosongin hari jumat. Jadi hari jumat memang gak ada kelas."

Andra menganggukkan kepala. Ia benar-benar patut mengacungi jempol pada Karina yang selalu memprioritaskan pendidikannya. Bahkan gadis itu melakukan pendakian tanpa mengganggu jadwal kuliah.

Sejak keberangkatan berziarah hingga perjalanan menuju ke rumah, Karina sibuk dengan ponselnya. Andra ingin sekali bertanya tentang apa yang membuat Karina terus saja menekuri ponselnya, tetapi, ia mengurungkan niat. Mungkin teman-teman pendakiannya, pikir Andra.

"Dra, aku lupa!"

Pekikan Karina membuyarkan pikiran Andra. Karina benar-benar bersikap tak terduga kali ini. Sebenarnya sering, hanya saja sudah lama sekali Karina tak berkata dengan jeritan seperti tadi.

Jelas saja Andra yang berdiri di sisinya terkejut. Gadis itu menatap Karina bingung sembari mengelus-elus dadanya karena saat ini debar jantungnya berdegup lebih cepat dari kecepatan normal. "Apa sih, Ka?" tanya Andra dengan tatapan bingung dan khawatir.

Karina meringis memandang Andra. Ia baru menyadari bahwa yang ia tadi lakukan sungguh mengejutkan orang sekitarnya. "Maaf. Aku cuma teringat Wutji dan Witja, gimana kabar mereka?" Karina merendahkan intonasi bicaranya.

Andra jadi meringis setelah Karina melontarkan ucapannya. Sebenarnya ia kecewa karena telah berpikir jauh. Kalau saja gadis itu bukan Karina, saat ini mungkin Andra telah mencekik leher si gadis yang hampir membuatnya terkena serangan jantung. Karena sebelumnya Andra berpikir terjadi sesuatu hal yang mendesak atau bahaya. Namun....

"Halah ... telat banget kamu. Sudah sebulan gini baru nanyain. Parah!" seru Andra dengan nada yang mulai melemah.

"Serius aku lupa. Mereka sehat kan? Gak ngerepotin kan?"

Andra menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mau mampir ke rumah?"

"Boleh deh. Kangen, ya ampun gimana bisa aku lupa sama mereka," ujar Karina.

"Kamu yang dipikirin si pengamen kedai terus, sih," celetuk Andra.

Karina menyengir. Mereka pun kembali menuju rumah Andra dengan roda empat yang dikendarai oleh gadis berambut gelombang itu; Andra.

***

Senin pagi jalan-jalan besar di mana pun mengalami lalu lintas yang padat merayap. Sejak ketibaannya di Stasiun Bogor, Karina menaiki angkot hijau untuk tiba di kampus. Namun, keadaan pagi itu, angkot pun tak banyak bergerak. Nyaring klakson di mana-mana. Teriakan calon penumpang, sopir, pedagang, dan tukang parkir menambah keramaian. Belum lagi sirine kereta yang terdengar dari stasiun. Dunia begitu ramai dengan orang-orang yang mengejar impian.

Setelah lima belas menit terjebak dalam kemacetan, Karina memilih turun, membayar ongkos, dan berjalan kaki mencari ojek untuk melanjutkan perjalanan.

3.726 [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang