#3

92 6 0
                                    

Besoknya...

Janji itu ditepati. Dia benar-benar mentraktirku, bukan di kantin sekolah. Tapi di salah satu cafe yang menjual berbagai jenis waffle varian rasa. Hari itu, untuk pertama kalinya aku diantar pulang oleh cowo. Bukan karena formalitas (sebelumnya aku sudah beberapa kali diantar pulang oleh cowo, tapi itu karena ada urusan maha penting) tapi lebih karena tanggung jawab – itu katanya – tapi aku menangkap maksud lain di matanya. Mata indah nan cerah.

Sudah berkali-kali aku menolak untuk diantar pulang karena aku bisa pulang sendiri. Aku bisa minta dijemput atau naik angkutan umum saja. Tapi dia juga berkali-kali berusaha meyakinkanku. Aku tidak takut, hanya risi karena aku tidak terbiasa katanya. Kami naik mobil sedan. Dia, Rafi, memang setiap hari ke sekolah mengendarai sedan mewahnya.

Hari itu, dia mengantarku sampai ke rumah. Dia menungguku sampai menghilang dari balik pintu. Sungguh menyenangkan rasanya, aku berlari ke lantai dua, tempat kamarku berada, menyaksikan kepergiannya dari atas.

Sungguh. Aku begitu mengenal perasaan ini. Aku tak bisa berhenti untuk terus tersenyum meski otak rasionalku mengatakan aku tampak seperti orang yang mulai tidak waras karena sering senyum-senyum sendiri tanpa alasan. Kata siapa tanpa alasan? Aku begini karena satu alasan, karena Arrafi. Seseorang yang luar biasa tampan, keren, pintar, dan baik hati yang pernah ku kenal. Kelas sepuluh perbankan tiga, satu jurusan denganku.

Lagi. Aku tidak bisa berhenti unutk terus memikirkannya, menyebut namanya, meski otak rasionalku lagi-lagi mengatakan aku harus fokus. Sungguh aku mengenal semua gejala-gejala ini, ini gejala cinta. Aku jatuh cinta.

Tapiiii...

Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta secepat ini? Aku bukanlah salah seorang pengikut aliran sutradara bollywood yang menganut keras istilah first sight. Aku makhluk rasional, yang lebih berpikir cinta ada karena biasa.

Namunnn...

Peduli apa. Bukankah cinta itu tidak bisa kita tebak, kapan dan dengan siapa ia akan berlabuh. Arrafi, izinkan aku untuk menulis kisah ini lebih lama, lebih panjang, lebih dalam. Agar dunia juga bisa merasakan getaran-getaran yang telah merusak saraf rasionalku.

Izinkan dunia tahu. Tahu tentang sesuatu yang ku rasakan. Tentang sesuatu yang langsung ku tahu namanya tanpa perlu pendekatan yang lebih.

Aku kelas sepuluh SMK.

Aku tempatnya kisah-kasih temanku berbagi.

Aku pendengar yang baik untuk segala kisah cinta mereka.

Kali ini, izinkan aku egois. Egois untuk lebih memilih menjadi pencerita. Memaksa mereka untuk menggantikan posisiku, menjadi pendengar yang baik atau... pembaca yang baik.

Yap! lebih singkat memang. tapi tetap klik "next"

Smart vs DumbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang