#13

67 2 0
                                    

" Jangan Menangis Karena hal bodoh. Lo harus bangkit!"

" Gue pikir lo itu beda. Gue pikir lo gak akan nangis, gue pikir lo itu cewe yang kuat." Tiba-tiba saja dia datang. Tanpa perlu menoleh sekalipun aku sudah tahu siapa dia. Siapa lagi yang hobi ngomong pake bahsa lo-gue selain dirinya. Siapa lagi yang punya suara bariton yang khas seperti dia. Siapa lagi yang tahu tentang tempat ini selain dia. Alex.

Aku sudah tidak peduli lagi. Terserah dia mau bilang apa, terserah dia mau menganggapku cewe cengeng, manja, keras kepala, bodoh, atau apalah itu. Aku juga manusia, sekeras-kerasnya aku menahan segala kesakitan, ada saatnya aku tidak sanggup menahannya lagi.

Meskipun aku memilki sahabat yang baik, memiliki orang-orang yang bisa ku percaya, tetap saja aku selalu lebih memilih untuk menahan semuanya. Masa bodoh dengan segala masalah. Yang penting bagiku adalah selalu berpikir positif dan menjadikan kekalahan sebagai kekuatan untuk bengkit. Bukannya tidak pernah, aku juga pernah mendapati juara dua atau kalah. Tapi semua itu dulu! Saat aku masih belajar untuk menjadi pemenang. Setelah kerja kerasku selama ini barulah aku mendapatkan apa yang pantas ku dapatkan. Menjadi pemenang. Selalu!

" Dan ternyata pikiran gue benar. Lo bukan cewe sembarangan." Aku mulai mengangkat kepalaku, menengadah, melihat ke arah matanya. Dia kini sedang duduk di sampingku. Ikut berbasah-basahan.

" Tshhhh..." aku mengembuskan ingus yang selalu keluar saat aku menangis. Dan aku mengelap ingusku dengan membasuhnya pada air laut. Ugh, pasti aku keliatan jelek banget deh saat ini. Wajahku bisa berubah total saat aku menangis.

" Lo tuh ya, jorok banget sih..."

" Bi... biarin," jawabku dengan masih sesenggukan.

" Tau nggak kenapa waktu itu gue bukannya ngajak lo latihan tapi justru ngajakin lo ke tempat sepi kayak gini?" aku menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaannya.

" Itu karena..."

" Karena apa?" tanyaku tak sabaran.

" Supaya gue punya waktu berdua sama lo, meski itu cuman sekali." Deg, demi mendengar jawabannya aku membulatkan mata kaget. Jantungku berdebar tidak keruan, rasanya ingin menangis lagi.

" Hh~ lo gagal?" pertanyaan itu sama sekali tidak ingin ku jawab.

Drrrtttt

Hp ku bergetar tanda ada sms masuk. Entah dari siapa.

Cieee yg juara dua. Congrat ya, peluk syng from your bf


Huh! Ternyata dari Zera. Huhuhu... peluk balik Zera, aku kangen banget. Pengen curhat samamu, tapi gak bisa sekarang.

Drrtttt... lagi, hp ku bergetar kembali.

Selamat ya cantik, Km hbt deh bs juara 2. Congrat again, mg km bs lbh hbt dri ini. Love u {}*


" Love you jidatmu!" umpatku saat membaca sms dari Rafi. Aku sudah muak dengannya, aku tidak mau lagi bertemu dengan Rafi. Untung aku udah tahu sebelum jatuh lebih dalam ke dalam lembah gombalan mautnya itu.

Kok gk d agkt sih? Km lg d mn? Lg les atau hang out? Km np sih? Ak kgn nih... pgn dgr suara km, miss u Al... {}*

Hp ku bergetar panjang. Kaliini ada telepon, dari Rafi. Ku biarkan saja hp-ku bergetar sampai selesai. Akutidak ingin berhubungan lagi dengannya, dia akan menjadi saingan abadiku.

Ku buka paksa casing hp ku dan ku cabut segala perngakatnya. Dari baterai sampai kartunya juga. Dasar pengganggu!

" Santai dong, kalau lo gak mau hpnya lagi kan bisa dikasih ke gue, lumayan tuh buat di jual, hehehehhh..."

" Kesel tauk!"

" Lo ini kenapa sih? Tadi meraung-raung sambil nangis bombai gak jelas, eh sekarang malah kesel-keselan gitu. Labil banget sih lo!" mungkin kali ini aku harus berbagi. Membagikan segala sesuatu yang membebankanku. Selama ini aku lebih sering menuliskan masalahku pada buku Diary, sangat jarang aku bercerita pada seseorang. Tapi mungkin kali ini aku harus mencobanya. Meski itu dengan Alex.

Aku pun mulai menceritakan segalanya. Benar-benar semuanya. Seperti menumpahkan berton-ton masalah pada diri Alex, namun dia justru menerima segala keluh kesahku dengan baik. Dia pun juga menanggapinya dengan tenang. Tatapan tajamnya justru memancarkan sinar kehangatan yang sulit dijelaskan. Aku lupa, dia kan sudah kelas dua belas. Tentu saja dia bisa bersikap dewasa dalam menghadapiku.

" Gue kan udah bilang, Rafi itu pemain. Lo sih bandel, dikasih tau gak mau," aku memanyunkan bibirku sebal. Kayaknya tadi dia gak sengeselin ini deh ngasih tanggapannya. Dia mentapku dengan pandangan datar tetap seperti menyembunyikan sesuatu. Tiba-tiba, dia memalingkan wajahnya.

" Kenapa?" tanyaku.

" Gak pa-pa," jawabnya asal.

" Lagian ya, kita itu gak bisa disebut selingkuh. Lo aja belum pacaran sama Rafi, jadi lo bebas mau deket sama siapa pun dan orang-orang juga berhak buat ngedeketin lo termasuk gue." Lanjutnya dengan serius. Aku hanya manggut-manggut mengiyakan.

" Soal kegagalan lo. Denger Alexa! Jangan pernah menangisi hal bodoh kayak tadi. Setiap orang pasti pernah salah, dan lo gak boleh ngehukum diri lo sendiri atas kesalahan yang lo perbuat. Kesalahan ada bukan untuk dihukum, tapi untuk diperbaiki. Jadi please, lo harus bangkit!" aku tertegun sekali lagi. Terkadang Alex bisa mendadak menyebalkan, terlihat jahat, namun juga bijak dan dewasa.

" Satu lagi, gue rasa lo harus menyingkirkan jauh-jauh keinginan lo buat jadi pintar main basket kayak gue. Karena gue gak mau punya saingan, apalagi saingannya berpotensi untuk mengalahkan gue. So, jadi diri lo sendiri aja ya, Alexa yang kuat, tegar, pintar, dan selalu sibuk belajar." Aku menggeleng. Tidak. Aku tidak ingin menjadi Alexa yang seperti itu, Alexa yang sibuk belajar.

" Aku gak mau jadi Alexa yang sibuk belajar..."

" Kalo gitu lo harus bisa me-manage waktu lo. Kapan lo harus belajar, latihan, ekskul, les, liburan bareng keluarga, nyantai di kamar, nge date sama gue, hehehehhh..." sialan. Sempat-sempatnya dia bercanda.

" Pokoknya lo butuh waktu untuk menjadi seorang remaja sejati. Lo butuh semua itu, gak cuman prestasi untuk belajar. Pintar itu banyak jenis kok. Asalkan bukan pintar kayak Rafi. Dia itu terlalu pintar dan kepintarannya itu dimanfaatkannya buat ngejebak cewe-cewe pintar, wajah tampannya itu cuman topeng.

" Emang bener yang lo bilang. Rafi punya segala yang cewe inginkan. Kasih sayang, kelembutan, perhatian. Tapi satu hal yang dia gak punya. Kesetiaan." Alex benar, selama ini aku selalu memikirkan banyak hal tentang kelebihan Rafi sampai-sampai aku lupa mempertanyakan satu hal yang paling penting. Setia. Apakah dia setia?

Aku bangkit berdiri. Berusaha menghapus jejak-jejak air mata yang mengering. Sekarang aku sudah merasa lega. Semua terasa plong. Tidak ada Alexa yang cengeng. Bukankah kegagalan adalah kemenangan yang tertunda.

Smart vs DumbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang