#10

65 2 0
                                    

Tentang Arrafi...

Tidak jauh lagi. Sebentar lagi kami sampai dan berhenti jalan kaki. Namun, sebelum hal itu terjadi. Dia mengacaukan susana dengan pertanyaan tiba-tibanya.

" Gue dengar lo pacaran ya sama anak loser itu. Kok lo mau sih pacaran sama dia?" pacaran? Loser? Maksud dia apa coba. Siapa yang dia maksudkan.

" Apaan sih, aku gak ngerti."

" Udah... gak usah pura-pura, gue tau kok lo sering banget berdua sama anak yang waktu itu gue hajar di parkiran. Lo gak mungkin lupa kan? Waktu itu lo datang, sok-sok jadi pahlawan buat dia terus..."

" Udah stop! Maksud kamu Arrafi?"

" Iya itu dia, ar siapalah itu."

" Rafi bukan pecundang ya! Jangan asal ngomong deh." Aku sedikit emosi mendengar Rafi disebut loser olehnya. Memang dia siapa? Dia gak tau apa-apa soal Arrafi.

" Taulah yang pacarnya, belain aja terus. Otak pintar lo itu udah ketutup sama pesona tipuan dia. Asal lo tau, dia itu pemain yang keterlaluan."

Plak! Secara refleks aku menamparnya. Dia hanya diam saja sambil memegang pipi yang barusan terkena tamparan dariku. Aku tak terima Rafi disamakan dengan pemain. Justru dialah yang sudah keterlaluan memanfaatkan jabatan seniornya untuk menindas adik kelas. Jelas sekali saat itu dia ingin menghajar Rafi di parkiran saat itu. Seharusnya aku langsung melaporkan saja kejadian itu, biar dicabut jabatan dia sebagai kapten basket. Selain tak berotak dia juga tidak bermoral. Bisanya hanya mengandalkan otot saja.

" Sekali lagi kamu menjelek-jelekkan Rafi kayak tadi, jangan harap bisa ngeliat aku lagi!" aku segera berlari menuju ke tempat motornya terparkir. Dia memang keterlaluan. Bodoh sekali aku mau diajaknya berteman dan bersenang-senang seperti tadi.

" Gue gak takut sama ancaman lo! Gue mengatakan yang benar. Waktu itu, gue emang sengaja mau ngabisin si Rafi karena dia udah tega ngancurin cewe yang gue paling sayang.

" Waktu itu, gue pernah suka sama satu cewe. Dia baik, menyenangkan, cantik, namun tidak terlalu pintar. Tapi emang dasarnya gue gak berani ngungkapin perasaan gue, karena gue sadar diri. Cewe pintar kayak dia mana mau nerima gue. Gue selalu ngelindungin dia dari jauh, merhatiin dia, mikirin dia, segala hal gue rela kasih ke dia. Tapi apa? Dia malah lebih memilih buat jadian sama adek kelas yang ganteng dan pintar. Ok gue ikhlas, gue bisa ngelepasin dia asal dia bahagia sama adik kelas itu. Tapi apa? Cowo brengsek itu justru ngancurin hati cewe yang gue suka. Dia pakai topeng itu buat mainin hati cewe. Lo benar, semua orang benar. Dia emang pintar, tapi pintar nyakitin orang. Makanya gue mau ngebalesin sakit hati cewe yang gue sayang. Tapi sayang, waktu itu lo justru datang ngancurin semuanya.

" Tapi gue juga berterima kasih sama lo. Karena lo, gue gak perlu capek-capek ngotorin tangan gue buat hal yang sia-sia. Cewe itu ternyata gak sepintar yang gue kira. Dia justru tetap dengan bodohnya berharap sama Rafi yang udah nyakitin dia. Dia terlalu bodoh untuk bisa disebut pintar. Dan mulai saat itu gue sadar. Gak ada manusia yang pintar dan bodoh, karena setiap mereka memiliki keduanya. Definisi pintar itu luas dan definisi bodoh juga luas. Akan sulit buat gue jatuh cinta lagi setelah kejadian itu, tapi takdir ternyata berkata lain."

Demi mendengar semua penuturannya, otak rasionalku kembali bekerja. Apakah ini nyata? Atau fiksi? Aku hanya bisa tetap berdiri tegak tanpa perlu membalikkan badan menghadapnya.

" Alexa..." dia memegang bahuku erat. Membalikkan badanku untuk bisa menghadap ke arahnya. Dia sedikit menundukkan badannya, mensejajarkan posisi wajahnya dengan wajahku. Mata hitamnya menatap lurus pada mataku.

" Lo pintar luar biasa. Geu tau lo punya prinsip dan definisi sendiri soal cinta. Yang jelas, cinta itu bukan buta kan buat lo? Lo punya mata, telinga, dan hati. Juga otak rasional yang akan berpikir lurus dan cemerlang." Aku tetap diam. Tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun untuk menanggapi semua cerita panjangnya.

Smart vs DumbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang