#6

83 5 0
                                    

Alex Alex-a

Pintu besi yang menutupi Sport Hall tampak begitu besar dan berat. Bagaimana cara membukanya ya? Di dorong atau di tarik? Ah, tentu saja bisa kedua-duanya. Pintu Sport Hall ini tampak tidak pernah diperbarui seperti Perpustakaan yang selalu diperbarui dan diperluas.

Aku mendorong pintu besi ini dengan sekuat tenaga karena ternyata pintu ini memang berat seperti kelihatannya. Huft, akhirnya pintu ini terbuka juga. Mataku langsung terpaku dengan ruangan yang maha luas ini. Wuah, ini seperti Sport Hall sungguhan yang terdapat di pusat kota. Ada banyak tempat duduk yang mengelilingi lapangan luas di bawahnya. Tempat duduk itu berwarna-warni, bertingkat dari bawah sampai ke atas.

Di tengah-tengahnya ada lapangan yang dibagi menjadi beberapa bagian. Ada lapangan futsal, lapangan basket, lapangan badminton juga beberapa sisa lahan lapangan yang kosong yang entah digunakan untuk apa karena aku memang tidak tahu menahu soal Sport Hall ini. Bagaimana caraku untuk mencari kapten basket itu di ruangan seluas ini? Ugh, tentu saja dia berada di area basket.

Aku menaiki tempat duduk penonton yang terus menanjak ke atas agar bisa melihat seseorang di ruangan kosong nan luas ini. Nah, di situ! Ada seseorang sedang bermain basket. Mungkin aku bisa bertanya saja padanya atau memang dia kapten basketnya. Ah entahlah, aku segera berlari terburu-buru ke tempat orang itu yang sedang bermain.

" Per..." aku tidak jadi melanjutkan kata-kataku saat orang itu sedang mendribble bolanya tepat di hadapanku. Betapa tidak, orang itu adalah orang terakhir yang tidak ingin ku lihat sama sekali. Bahkan untuk mendengar namanya saja aku tidak sudi. Makanya saat pak Ariez memanggilku dengan sebutan Alex aku segera merlatnya. Namaku Alexa dan bukannya Alex.

" Kebetulan sekali kita ketemu lagi di sini." Ya, sangat kebetulan memang. Dan aku yakin, hari ini adalah hari sialku atau hari untuk mengujiku setelah mendapatkan kesenangan ranking satu.

" Tapi tidak ada yang namanya kebetulan kan di dunia ini? Sesuatu yang terjadi pasti ada sebabnya bukan?" dia berjalan mendekatiku. Segera saja aku mundur selangkah dan membuang muka.

" Sorry ya, aku nggak ada urusan sama kamu. Urusan aku cuman sama kapten basket Sight Light, kalau bukan karena ini – aku menunjukkan sebuah kotak dan file dokumen itu – aku nggak akan sudi ngelahkahin kakiku ke sini," ucapku sambil tetap membuang muka. Aku tahu yang ku lakukan tadi sungguh kelewat batas, kelewat sombong dan keterlaluan. Tapi aku juga tidak ingin membahayakan diriku akan berlama-lama di tangan psikopat sinting ini.

" Apa itu? Liat!" dia segera menarik tanganku yang sedang memegang kotak itu dan setumpuk dokumen sehingga aku tidak sempat menolaknya. Segera direbutnya barang-barang yang harusnya diambil oleh kapten basket Sight Light.

" Enak aja main ambil-ambil, kamu tuh gak punya hak buat ngambil barang yang bukan milik kamu!"

" Berisik lu ah!" bentaknya yang membuatku sedikit bergidik ngeri dan takut. Sadar kata-katanya membuatku takut, cowo ini segera meralat kata-katanya.

" Sorry, maksud gue... gue berhak tau ini apa," ucapnya sambil duduk dan mulai menyobek kertas yang membungkus kotak kardus itu.

" Maksudnya?" tanyaku tidak mengerti dengan yang dikatakannya kalau dia juga berhak tahu isi di dalam kotak itu. Aku pun juga duduk di hadapannya, membantunya membuka kotak yang ternyata banyak dilapisi bungkusan koran.

" Gue kapten basket yang lo cari." Seketika aku membelalakkan mata. Bagaimana mungkin? Orang tempramental seperti dia bisa jadi kapten basket? Dan... bukannya kata Zera dia bukan salah satu murid pintar kebanggaan Sight Light, justru dia sering berbuat onar dan melanggar peraturan.

" Wuihhh, bola basket baru nih. Pak Ariez emang top deh, ngerti banget dia kalau tim ini butuh bola baru." Aku juga melihat bola itu. Terlihat sangat baru dan bagus. O iya, tadi kan pak Ariez juga bicara soal event basket yang sebentar lagi datang.

" Woi! Diem aja lu kayak patung." Aku tergagap ditegur tiba-tiba begitu.

" Mikirin apa sih? Mikirin gue ya? Hahahahhh tau kok kalau gue cowok tamvan sejagad raya..." idihhhhh pede abiz nih orang. Tapi aku hanya menanggapinya dengan gelengan kecil.

" Udah kan, berarti urusan aku udah selesai." Aku segera berdiri dan beranjak pergi.

" Eits tunggu Alex!" dia segera menarik tanganku untuk mencegahku melangkah lebih jauh lagi.

" Namaku Lexa bukan Alex!" bentakku sambil menyentakkan tanganku agar terlepas dari cengkramannya. Tapi percuma, dia sangat kuat ternyata. Heran deh, berani banget nih orang megang-megang tanganku. Rafi yang udah deket sama aku aja gak pernah megang-megang aku. Dan yang lebih menyebalkan lagi, ngapain pula dia harus manggil aku dengan namanya 'Alex' namaku itu 'Alexa'.

" Ya udah sih, cuman ditambah huruf 'a' doang kok."

" Iya tapi lepasin!" bukannya dilepas aku justru di tarik ke arahnya. Hampir saja aku menabrak badannya kalau saja tangan yang satunya tidak digunakannya untuk menggenggam pundakku, menahan gaya dorongan yang kuat yang dilakukannya sendiri.

" Selamat ya..."

" Untuk?"

" Number one be a smart banking major from ten class," ucapnya dengan tulus sambil menyalamiku.

" Thanks, kamu sendiri ranking berapa?" tanyaku sambil menyudahi acara salam-salamannya. Bukannya menjawab dia hanya mengangkat bahu tanda tidak tahu. Lalu mendribble kan bola barunya, dia melakukan vipot sebelum akhirnya men-shoot dari jarak jauh tanpa melakukan lay-out terlebih dahulu. Shoot! Bola itu meluncur mulus dan keluar dari jaring dengan sempurna.

" Bagi gue ranking gak begitu penting, hal itu cuman jadi ajang gengsi aja," ucapnya sambil memutari lapangan sambil terus bermain basket.

" Ajang gengsi katamu? Ranking itu untuk mengukur seberapa mampu kita dalam manyimak pelajaran yang sudah berlangsung selama semester," balasku dengan kesal mendengar jawabannya.

" Gitu ya? Gimana kalau orang itu gak pernah memperhatikan apa yang dibahas selama satu semester?"

" Kalau gitu ngapain sekolah? Kerja aja sana! Jadi kuli bangunan atau jadi penggali parit sekalian. Masih banyak kok orang yang pengen sekolah dan belajar dengan keras untuk masa depan yang lebih baik, hanya saja mereka gak pernah dapat kesempatan." Dia berhenti bermain. Dan berjalan mendekatiku, kali ini aku tidak takut lagi. Terserah dia mau berargumen apa, aku yakin yang ku katakan itu sebuah kebenaran.

" Kalau lo menganggap diri lo pintar..."

" Ambil ini!" dia melemparkan bola basket yang ada di tangannya.

" Basket adalah permainan yang pertama kali diciptakan oleh..."

" Gue gak butuh segala teori sampah tentang basket! Gue nyuruh lo buat main basket ngerti? Kalau lo emang pintar, lakukan!" aku menelan ludah untuk mendengarnya. Maksud dia apa coba nantangin aku buat main basket? Basket itu gak penting, sama sekali gak penting. Bisa atau nggaknya aku main basket nggak akan ada pengaruhnya buat nilai aku.

" Gue tau apa yang ada di pikiran lo. Gue pikir lo itu beda? Ternyata lo sama aja! Monoton, manusia metronom. Kalian semua sama menyedihkannya. Kalian menganggap diri kalian pintar, tapi kalian sendiri nggak tau definisi pintar yang sebenarnya." Nyuttt.. kata-kata dia sungguh menyebalkan dan menyakitkan.

" Udah ah, pergi sana lo! Ada nggak adanya lo di sini nggak akan ngerubah apapun."

" Bukan kami. Tapi kalian atau mungkin cuman kamu yang terlalu bodoh untuk bisa mengerti!" ku hempaskan bola basket itu kuat-kuat ke lantai lapangan sampai bola itu memantul tinggi. Sialan! Dia pikir dia siapa bisa-bisanya mengusir diriku bahkan sampai memberitahuku hal bodoh dan tak berguna. Memang bukan aku, tapi dia saja yang pengetahuannya tidak sampai. Heran deh, udah kelas dua belas juga masih segitu-segitu aja pemikirannya. Apa sih yang dia pelajari selama dua belas tahun ini?!?!

wuahhh... udah chap 6. semoga trs lanjut~

Smart vs DumbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang