#12

56 2 0
                                    

Aku gagal!

Wah... dari judulnya saja sudah terlihat jelas apa yang terjadi padaku. Iya, aku gagal. Aku dan timku hanya berhasil menduduki posisi juara dua. Padahal kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyingkirkan lawan-lawan kami pada babak pertama, kedua, dan ketiga. Semua berjalan mulus dan mudah. Bahkan saat semi final kami masih bisa menang telak dari keempat lawan kami yang mayoritas bersal dari sekolah swasta ternama seperti kami juga. Tapi di babak final, di situlah letak kesalahanku sebagai juru bicara dan sebagai ketua tim.

Perjalanan mulus yang telah ku lewati selama ini ternyata membuatku besar kepala. Lawan kami saat itu adalah grup A dari SMK Jaya Bangsa, grup B dari SMK Sight Light, dan grup C dari SMAN 17. Tidak sulit bagiku untuk melawan mereka berdua. Terutama SMAN 17. SMA Negeri yang prestasinya belum ada apa-apanya dibandingkan kami. Bahkan SMA favorit saja bisa kami kalahkan kenapa SMA yang satu ini justru tidak?

Apalagi SMK Jaya Bangsa, sekolah baru yang ku tahu pembangunan sekolahya belum selesai. Bahkan jurusan yang tesedia masih sedikit serta fasilitas yang belum memadai. Rata-rata murid yang masuk ke sana adalah murid yang tidak keterima di Sekolah Negeri. Berbeda dengan sekolah swasta kebanyakan, SMK Sight Light juga menerapkan sistem pencarian nilai. Tidak hanya yang berduit banyak yang bisa masuk ke sana. Tapi juga harus pintar. Maka dari itu aku bilang seluruh murid di SMK Sight Light menginginkan posisi satu. Tidak ada yang mencontek dan mau dicontek. Masing-masing orang tidak pernah percaya dengan jawaban teman yang lainnya, jadi tidak ada alasan untuk mencontek. Begitu juga yang dicontek, mereka akan merasa sangat rugi telah memberikan jawaban meski hanya satu.

Tapi aku salah. Salah besar! Aku, Mega, dan kak Fara benar-benar keliru telah menilai mereka bisa masuk babak final hanya karena faktor keberuntungan. Kami bahkan harus berjuang mati-matian di saat-saat akhir seperti ini. Tidak ada jalan mulus. Tidak ada waktu berpikir. Semua terjadi secara spontan. Siapa cepat dia dapat. Hanya itu kuncinya, karena setiap kami tahu jawabannya, hanya saja setiap kami memiliki spontanitas yang berbeda.

Tidak ada nilai telak. Semua beda tipis. SMAN 17 berhasil menduduki juara satu dengan skor beda 0,5 dari kami dan SMK Jaya Bangsa menduduki juara tiga dengan skor beda satu angka dari kami. Hanya setipis itu dan kami masih berani berpikir mereka masuk final karena faktor keberuntungan?!?! Kami bahkan harus menunduk malu saat bersalaman. Mereka original pintar. Dan satu hal yang pasti, mereka pekerja keras.

Di atas orang yang berjalan ada orang yang berlari dan di atas orang yang berlari ada orang yang terbang. Mereka yang tekun dan pekerja keras itulah orang yang terbang.

***

" Sebenarnya apa yang terjadi pada kalian?" tanya bu Mila, kajur Perbankan. Kami tidak menjawab, hanya menunduk dalam-dalam.

Ya, aku tahu. Banyak orang yang dikecewekan kali ini. Andai saja aku tidak meremehkan mereka saat pertandingan tadi, tentu aku akan tersenyum senang. Ikhlas menerima kekalahan kami. Tapi kali ini tidak. Aku tidak bisa tersenyum atas kekalahan yang terjadi karena kesalahanku sendiri.

Ugh, rasanya begitu perih. Bahkan sangat perih dari pada saat aku mengetahu Rafi php-in aku saat itu. Ini lebih sakit dari pada sekedar patah hati. Aku memang tidak pantas menjadi murid yang pintar, aku bahkan tidak bisa membimbing timku untuk tetap waspada terhadap lawan.

" Kalian bapak antar langsung ke rumah masing-masing aja ya," ucap pak Yadi yang masih dijawab oleh kebisuan dari kami. Tanpa menunggu persetujuan dari kami, pak Yadi mengantar kami satu per satu. Di mulai dari Mega, Kak Fara, lalu aku. Tapi aku tidak ingin pulang ke rumah. Aku belum siap memberikan kabar kekalahan ini pada mama. Meski aku tahu, hal itu tidak masalah bagi mama. Toh, kami juga juara dua.

" Kamu turun di mana nak?" tanya pak Yadi saat aku menunjuk arah yang menuju ke sebuah tempat yang baru-baru ini ku tahu sebagai tempat terbaik untuk menyendiri.

" Di sini aja pak," ucapku saat merasa tempat ini adalah tempat yang benar. Aku pun menyalami pak Yadi dan bu Mila, baru setelah itu aku turun dari mobil. Setelah mobil itu pergi dari hadapanku. Barulah aku berjalan menembus semak-semak yang sama.

Aku ke pantai yang selalu sepi itu. Tempat di mana aku mendengar kebenaran tentang Rafi yang tidak ingin ku dengar. Tempat yang membuatku berpikir sepuluh kali tentang definisi pintar yang sebenarnya. Aku kemari dan bukan ke Sport Hall. Karena jelas tempat ini lebih menyenangkan dari Sport Hall.

" Arggghhhh..... Aaaaaa....." aku berteriak sekeras mungkin. Mengeluarkan beban yang hinggap di dada.

Selama ini aku selalu belajar jadi pemenang, belajar untuk menang dengan jujur dan sportif. Menang dengan pikiran suci, bukan menang dengan pikiran kotor macam tadi. Bahkan aku merasa tidak pantas untuk mendapatkan predikat juara sama sekali. Aku gagal dan itu sangat menyakitkan.

" Hiks... hiks..." aku terjatuh. Lututku terlalu lemas untuk bisa menyangga tubuhku. Aku terduduk di antara gulungan ombak yang datang silih berganti, lalu pecah di dekatku. Aku menangis, hal yang sangat jarang ku lakukan. Karena tidak pernah ada alasan untukku menangis. Bahkan saat Rafi membuatku patah hati untuk pertama kalinya. Aku tidak akan menangis. Tidak akan aku menangisi hal yang tidak pantas untuk ku tangisi.

Tapi kali ini? Aku menangisi diriku sendiri.

ok ok ok... thanks buat yang maish setia baca.

Smart vs DumbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang