Cloud 4 : Jatuh

42 8 2
                                    


"SAYA SUMPAHI, NANTI KAMU JATUH DI JALAN!" Dan, akhirnya 7 kata sumpah serapah berhasil di lontarkan oleh sang Nenek.

Ridho tidak mendengar dan terus melajukan motornya ke tempat tujuan. Saat mendekati lampu merah, Motor Ridho menghindari siput yang berjalan dengan pelan. Sehingga motor Ridho oleng dan menyerempet seorang ibu hamil. Setelah lulus dari cobaan ibu hamil, motor Ridho berhenti-dengan sangat-tidak-mulus-menabrak tiang lampu lantas.

"Ridho!" Teriak Raina karena takut akan mati ditempat.

Dan, semuanya menjadi biasa saja. Eh, maksudnya abu-abu.

¤¤

Seorang remaja berumur 14 tahun berlari di koridor rumah sakit yang ramai dengan bau obat-obatan yang khas. Keringat sebesar butir jagung jatuh dari dahinya. Ia begitu kaget atas berita yang menimpa dua sahabatnya. Beritanya, kedua sahabat itu kecelakaan dikarenakan menghindari seekor siput.

Sang remaja itu sangat khawatir kepada kedua sahabat nya. Yang terutama untuk sahabat perempuan yang berbaring lemah di ruang UGD rumah sakit. Hatinya berdenyut tidak karuan. Rasa cemas yang dimilikinya sudah tidak terbendung lagi.
Dan
Tes.
Satu titik air keluar dari kelopak mata nya. Menyusul bulir air lainnya yang berdesakkan keluar untuk mewakili perasaannya saat ini.
Tidak seharusnya seorang laki-laki menangis seperti ini.

Tubuh itu terjatuh, dan merosot di dinding rumah sakit. Bahunya naik turun selaras dengan suara isakan penyesalan. Ia takut bahwa ini adalah akhir hidup dari kedua sahabatnya.

Namanya Awan. Seseorang yang saat ini tengah menangis dengan alunan nada tangis yang menyedihkan.
Hingga sebuah suara yang mengurangi isakannya.

"Anda keluarga pasien?" Tanya seorang dokter yang baru keluar dari ruang UGD dengan wajah yang tenang dan berwibawa.

"Bukan dok, tapi saya sahabatnya." Balas Awan seraya menghapus kasar sisa air matanya agar tidak terlihat terlalu menyedihkan.

"Tolong beritahukan kepada keluarga pasien, bahwa pasien yang laki-laki mengalami patah tulang di bagian kaki kanan. Dan pasien perempuan mengalami retak pada tangan kanan. Alhamdulillah, kepala kedua pasien baik-baik saja karena memakai helm yang ber-Standar-International. Kalau begitu,saya permisi." Sang Dokter melenggang pergi meninggalkan ruang tersebut.

"Terimakasih Dokter!" Awan sedikit berteriak karena dokter sudah berada jauh di depannya.

Terdengar dua helaan napas lega dari koridor rumah sakit. Yang jelas, Awan kaget. Karena ia tadi berada di koridor rumah sakit sendirian. Dan sekarang, terdengar dua suara selain dirinya.

"Ini gue Wan. Bayu." Ternyata salah satu suara tersebut berasal dari Bayu. Tapi, anehnya Bayu tidak memakai pakaian yang menandakan bahwa dirinya adalah anak cupu. Ia memakai sweater berwarna mokka dan abu-abu, dengan celana jeans, sepatu bermerek - Converse. Yang terlihat pada remaja pada umumnya.

"Eh Bayu. Lo kok bisa ada disini sih?" Awan heran kenapa Bayu ada disini. Padahal Bayu tidak ada sangkut-pautnya dengan ini.

"Gue sepupunya Ridho. Tadi baru dengar ada kecelakaan makanya langsung kesini. Lo baru nangis ya?" Ridho bertanya dengan nada yang benar-benar penasaran. Bukan pertanyaan sejenis mengejek atau apapun. Awan yang baru ditanyai seperti itu, jelas langsung gelagapan mencari alasan yang pas.

"Eh enggak. Tadi habis kemasukan lalat. Jadinya ya merah gini." Alih-alih mencari alasan yang pas, malah membuka aibnya bahwa jelas-jelas ia menangis. Awan mengucapkannya seraya menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

"Lo bohong. Soalnya lo garuk-garuk tengkuk. Dan itu salah satu ciri-ciri orang yang berbohong. Kalo lo nangis itu wajar, soalnya lo takut buat kehilangan Kedua sahabat lo. Gue bisa ngerti." Bayu memang bukan orang yang suka merendahkan. Bahkan ia bisa sangat pengertian pada orang yang tak telalu dekat dengannya.

"Makasih Bay, gue emang bener-bener Stuck saat denger mereka jatuh. Mereka adalah temen yang istimewa Bay." Mulai terlihat wajah pias milik Awan. Raut wajah yang mengartikan gelisah,takut, dan penyesalan berkumpul menjadi satu.

"Doain aja yang terbaik buat mereka. Tadi gue udah telepon orangtuanya Raina sama Ridho, jadi sebentar lagi mereka datang." Ucap Bayu yang terdengar menenangkan bagi Awan. Akhirnya ia bisa bernapas lega.

Sembari menunggu orangtua dari kedua remaja yang sakit, Awan melakukan berbagai aktivitas. Terkadang, ia mondar-mandir di depan pintu UGD, karena hanya keluarga pasien yang boleh masuk. Mengetuk-ketukkan jarinya di dagu sambil menerawang masa depan.

Hingga pada akhirnya orangtua Raina&Ridho sampai, dan Awan diperbolehkan pulang.

¤¤

Pagi hari yang cerah, ditandai dengan sinar matahari yang masuk melalui celah gorden. Sebuah tangan yang lembut membuka gorden keemasan itu dengan perlahan, takut jika gorden itu akan rusak saat ditarik dengan kasar.

Sepasang kelopak mata memaksakan untuk membuka dengan beberapa kali mengerjap, menyesuaikan cahaya yang masuk pada kornea.

Suara deheman yang halus terdengar seperti lagu pembangun dari tidur.
Setelah 2 hari terlelap di ranjang kamar rumah sakit, tubuh itu mulai sadar dalam keadaan yang pegal.

"Ehem, Raina? Sudah bangun nak?" Suara lembut menenangkan itu mulai mengecek kondisi sang anak.

"Ma minum, Raina capek." Tubuh Raina sekarang sangat pegal, ditambah dengan gips yang ada pada tangan kanannya semakin membuatnya tidak nyaman

"Gimana kondisi kamu sekarang? Udah enakan belum?"

"Lumayan ma, Ridho mana? Dari tadi gak kelihatan batang hidungnya?" Raina menengak-nengok samping kanan dan kirinya mencari Ridho.

"Kenapa kamu cari Ridho?" Tanya mamanya.

"Mau dijitak ya tuh anak. Naik motor nya ugal-ugalan. Kan jadinya kaya gini." Umpat Raina karena ia sangat kesal dengan kejadian kemarin.

"Udahlah nak, yang lalu bukan biarlah berlalalu. Sekarang kamunya kan udah sehat. Jadi, dibikin santai aja, Ahoi baru chips ahoi." Mama Raina sekarang malah nge-rap tidak karuan mendengar slogan sebuah cookies chocochip.

"Ya kan jadinya tambah kesel gini ma. Sebel." Wajahnya sekarang menjadi cemberut dengan bibirnya yang dikerucutkan ke depan. Pipi yang merah padam, dan alis yang disatukan.

"Ih, jangan gitu ah wajahnya, Jelek. Ridho nya sekarang ada di ruangan sebelah sini. Dia patah tulang di bagian kaki kanannya. Kan kasian, jangan dimarahi." Mamanya Raina tidak tega pada Ridho karena kasihan.

"Iya ma, gak jadi-"

"Raina, kamu nggak apa-apa?" Tiba-tiba perkataan Raina di potong oleh Cinta, temannya yang lain di anggota OSIS.

"Ih, apaan sih. Main masuk aja nggak ada salam. Itu etika nya kemana?" Sewot Raina karena merasa kesal pada Cinta.

"Ya sorry, gimana keadaal lo?" Tanya Cinta cemas melihat keadaan Raina yang terlihat mengenaskan, dengan gips yang ada pada tangannya.

"Ya gini deh. Pathetic."
Jawab Raina singkat.

"Tadi, anak OSIS mau kesini tapi belum jadi soalnya repot banget. Gue deh yang nengok lo sendirian." Cinta menjawab dengan cengiran diwajah nya.

"Assalamualaikum, Raina. Bagaimana keadaan kamu?" Tiba-tiba datanglah Pak Sena. Seorang pembina OSIS yang bijaksana.

"Waalaikumsalam pak, mari duduk dulu." Jawab mama Raina dengan halus sambil merapikan sofa di dekat ranjang.

"Iya terimakasih, bisa saya bicara hanya dengan Raina?" Sahut Pak Sena. Ia juga mengusir halus mamanya Raina dan Cinta.

"Oh baik pak, silahkan." Mamanya Raina mempersilahkan.

Setelah mamanya Raina dan Cinta keluar, Pak Sena memulai pembicaraan dengan Raina.

"Ra, ada yang saya ingin bicarakan kepada kamu."

"Apa pak?" Jawab Raina dengan rasa penasaran yang sangat tinggi.

¤¤
Bersambung

CloudyRainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang