Gemerisik dedaunan yang saling beradu karena tertiup angin menjadi satu-satunya suara yang mengisi kekosongan diantara sepasang anak adam yang saling terdiam. Membisu. Tak sedikitpun mereka saling menoleh. Pandangan mata mereka terpusat ke depan. Ntahlah apa yang tengah mereka lihat. Yang jelas, di depan sana tidak ada satupun objek yang menarik untuk di perhatikan sampai sedetail itu.
Pikiran gadis itu melayang, jauh dan sulit untuk digapai. Seandainya dulu dia tidak melakukan sebuah kesalahan. Keputusan yang paling egois yang telah dia ambil, mungkin saat ini dirinya akan berbahagia dengan lelaki itu.
Tidak begitu jauh dengan laki-laki yang berada di sampingnya saat itu. Dia bahkan tidak tahu siapa pria tersebut. Yang jelas, saat dia mendaratkan bokongnya di kursi besi—yang tersedia pada setiap beberapa meter ruas taman yang berada di komplek perumahannya—laki-laki itu tiba-tiba saja ikut mendaratkan bokongnya. Duduk di sampingnya, tanpa sepatah katapun. Tanpa lagi menoleh ke arahnya untuk sekedar meminta izin.
Di atas sana, langit senja mulai menyapa setiap insane yang berada di bawah naungannya. Gradasi warna yang diciptakan membuat siapa saja merasakan sebuah ketenangan di dalam sana.
Sekali lagi, angin berhembus membelai lembut kedua insane tersebut. membuat rambut gadis tersenyum tersapu angin dan akhirnya melambai-lambai mengikuti arah angin. Shilla membuang napas kasar.
“Loe kenapa?” Tiba-tiba cowok di samping gadis itu membuka suara, kontan membuat Shilla mengernyitkan dahinya. Menatap cowok di sampingnya dengan pandangan-siapa-loe? “Gue Gabriel,” katanya sambil menjulurkan tangannya. Menanti Shilla menyambut uluran tangannya dengan bibir yang melengkung indah ke atas.
Shilla mendengus dan mengalihkan pandangannya, tanpa repot-repot untuk membalas uluran tangan laki-laki tersebut. Dan membuat Gabriel memandang tangannya dengan tatapan nanar, kemudian menurunkan tangannya secara perlahan sambil tersenyum miris.
Bakhan untuk kesekian kalinya, uluran tangan gue nggak pernah mendapatkan balasan. Batin Gabriel miris.
“Loe… pernah terlambat?” Shilla bertanya tanpa menatap Gabriel. Sesekali tangannya menyelipkan rambut yang terjuntai bebas ke balik telinga kanannya. Gabriel melirik sekilas kemudian berdehem tanda tidak mengerti apa maksud pertanyaan dari gadis di sampingnya itu.
Shilla mendengus, kemudian secara tiba-tiba langsung memutar posisi duduknya. Berhadapan dengan Gabriel dan refleks menggenggam tangan laki-laki tersebut. Gabriel berdehem, memberikan sebuah kode melalui matanya. Awalnya Shilla tidak mengerti atas tatapan mata Gabriel yang menatapnya tidak nyaman. Namun, setelah mengikuti tatapan mata Gabriel dan berhenti tepat pada tangan mereka yang saling menggenggam, Shilla dengan salah tingkah dan menahan malu, melepaskan genggamannya. Detik berikutnya ia berdehem, berusaha menetralisir rasa malu dan semburat merah yang mulai memenuhi kedua pipinya.
Berulang kali Shilla berdehem, mengibaskan kedua tangannya tepat di depan wajahnya, untuk kesekian kalinya, dia berusaha untuk meredam semua yang bergejolak di hatinya. Seharusnya, dia bisa sedikit saja menjaga tingkah lakunya di hadapan seorang laki-laki yang bahkan tidak dia kenal sama sekali. Ups… ralat, laki-laki di hadapannya bahkan sudah mengenalkan namanya kepada Shilla.
Dengan gugup dan masih sedikit salah tingkah, Shilla mengibaskan tangannya sekali lagi sambil tertawa hambar. “Sorry,” ujarnya penuh sesal.
Hening kembali mengisi kebisuan diantara mereka, sampai akhirnya Gabriel membuka suara setelah dirinya berdehem dua kali, “Maksud loe terlambat tadi apa?” Jujur saja Gabriel sejak tadi cukup penasaran dengan maksud pertanyaan yang secara tiba-tiba terlontar dari mulut gadis di sampingnya itu. Gadis tanpa nama. Batin Gabriel.
Shilla gugup, kembali menyelipkan rambut yang mengganggu ke balik daun telinganya. “Maksud gue… apa loe pernah terlambat menyadari mencintai seseorang?” ujar Shilla, kemudian langsung mengibas-ngibaskan tangannya, “maksud gue… apa loe pernah menyesal setelah memberikan sebuah keputusan yang jelas-jelas hati lo mengingkari itu?”
Gabriel mengernyit sambil menatap Shilla sekilas kemudian mengalihkan tatapannya. Menatap seorang anak perempuan kecil yang tengah tertawa sambil menaiki ayunan di depan sana. Di belakang anak kecil itu berdiri seorang Ibu muda yang juga tengah tertawa sambil sesekali mengayun-ayun.
“Pernah. Dan itu... rasanya sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Bahkan sampai saat ini, sakit itu masih tetap ada dan rasanya nggak pernah berubah sedikit pun.”
Gabriel tersenyum sambil menoleh dan matanya langsung bertubrukan dengan mata Shilla yang berwarna hitam pekat. Dan detik berikutnya, Shilla langsung menundukkan kepalanya. Menatap ujung platshoes-nya yang saling berada pada rerumputan.