Bab 2 — Tempat yang Berbeda
Masih sulit semuanya diterima oleh Ify. Yang jelas, di hadapannya saat ini gadis itu tengah berdiri sambil mengulas senyum manis keseluruh teman-temannya. Tidak terkecuali dirinya. Gadis itu bahkan beberapa kali bertabrakan tatapan dengan dirinya. Namun, sebisa mungkin Ify menghindarinya. Tatapan mata itu masih sama. Lembut dan menenangkan. Tapi, ntah kenapa, saat Ify menatap jauh ke dalam kornea mata gadis itu, hatinya langsung nyeri. Memukul-mukul rongga dadanya dengan hentakan yang menyakitkan. Membuat bulir keringat sebesar biji jagung akhirnya meluncur bebas dari dahinya.
Ketakutan itu mendera dirinya sendiri. Hanya dirinya yang ketakutan. Bukan orang lain. Hanya dirinya. Dan hanya dirinya pulalah yang tau bahwa ketakutan itu perlahan-lahan menjalar melalui pembuluh ateri dalam tubuhnya. Menyusup ke sela-sela organ dalam tubuhnya. Membuat wajahnya pucat, seputih kapas. Susah payah, Ify menarik napas. Menggapai-gapai pasokan udara yang sebenarnya begitu banyak di sekitarnya. Namun, ntah kenapa, oksigen itu tidak dapat masuk melalui pernapasannya. Membuat dirinya mengap-mengap menghirup oksigen.
“Fy…” samar, semua berdengung dalam pedengaran Ify. Dengan linglung dia menoleh. “Lo ngga apa-apa? Lo pucet banget. Kita ke UKS, yuk.” Via menatap Ify dengan khawatir. Pasalnya, wajah gadis di sampingnya itu begitu putih bagaikan kapas. Via juga dapat melihat bulir keringat sebesar biji jagung berada di dahi gadis itu.
Dengan refleks Via memegang tangan Ify, bermaksud mengajaknya untuk berdiri dan meminta izin kepada Bu Fat untuk ke UKS. Namun, lagi-lagi Via tersentak. Tangan gadis itu begitu dingin dan gemetar.
Ify masih bungkam. Tenggorokkannya tercekat. Membuatnya sulit untuk bersuara. Bahkan hanya untuk menelan ludahpun terasa sakit. Ify tidak pernah mengira, kalau kehadiran gadis itu akan berpengaruh begitu besar pada tubuhnya. Membuat Ify seperti patung tak bernyawa.
“Gue… nggak apa-apa, Vi.” Lirih, Ify menjawab pernyataan Via. Dirinya tidak sakit. Dia bahkan sehat-sehat saja. Hanya saja, hatinya yang sakit.
“Lo yakin?”
Ify mengangguk sambil merilekskan tubuhnya. Menyandarkan punggungnya yang tiba-tiba terasa pegal pada sandaran kursi kayu yang keras sambil menghembuskan napas kasar. Seharusnya, respon tubuhnya biasa-biasa saja. Lagipula, dirinya kini lebih berhak atas apapun yang menyangkut orang itu. Dia yang selama satu tahun ini berdiri di samping laki-laki itu. dirinya yang selama ini menjadi warna dalam kehidupan laki-laki itu. Dirinya yang selama ini selalu ada untuk laki-laki itu disaat laki-laki itu jatuh terpuruk, saat bahagia bahkan di saat laki-laki itu butuh penopang.
Bahkan Ify rela merasakan bagaimana sakitnya, dikala laki-laki itu masih terpuruk atas kepergian gadis itu beberapa tahun yang lalu. Memendam semua rasa cintanya saat laki-laki itu berbahagia dengan perempuan yang kini berdiri di depan sana dengan senyuman manis. Bagaimana mengenaskannya laki-laki itu saat dirinya belum menerima keputusan sepihak dari perempuan itu. Dirinyalah yang saat itu berada di sana. Di samping laki-laki itu. Seharusnya dia tidak usah merasakan ketakutan seperti ini. Semua akan baik-baik saja. Iya. Baik-baik saja.
Dengan perlahan, Ify menoleh, menatap bangku Rio. Laki-laki itu masih menatap Shilla dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Menatap tanpa berkedip dengan wajah pucat seperti Ify. Namun…ada hal lain yang dapat Ify artikan dari tatapan itu. Tatapan penuh rindu yang selama ini tidak pernah tampak. Tatapan penuh cinta yang masih menggantung seperti awan di luar sana.
Pada saat itupula, ketakutan itu kembali menjalar. Menggerogoti tubuh Ify secara perlahan-lahan. Intinya, Ify kembali merasakan sebuah ketakutan. Takut kalau Rio kembali jatuh ke dalam pelukan Shilla. Takut kalau posisinya yang kini sebagai pacar Rio kembali terganti dengan Shilla. Takut. Takut dan hanya takut untuk saat ini.