Bab 6 — Ternyata Rasanya Seperti ini
Sebenarnya siapa yang salah disini? Dirinya atau hatinya?
Dirinya yang sudah berani-beraninya mengambil alih hati Rio dan memilikinya? Atau salah hatinya yang tidak juga tahu diri, bahwa hati Rio hanya milik Shilla?
Atau salah “cinta” yang menggenggam erat hatinya? Sehingga membuat dirinya buta dengan kenyataan?
“Lo kenapa, Fy?” tanya Gabriel dengan nada khawatir saat dirinya menangkap siluet tubuh Ify yang menangis di atas sana.
Gabriel yang memang pada niat awalnya ingin ke rooftop untuk menghilangkan sejenak lelah yang mengemban dipundaknya memilih melupakan niatannya tersebut. dirinya sudah berada di samping Ify, duduk bersebelahan sambil menatap gadis di sampingnya dengan tatapan bertanya-tanya. Tanpa berkata lebih lanjut lagi, Gabriel langsung membawa tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Mengusap lembut punggung Ify. Membisikkan kata-kata bagaikan semilir angin tepat di telinga sebelah kanan Ify.
“Fy… udah ya udah.” Bisik Gabriel berusaha menghentikan isak tangis dari sahabat semasa kecilnya.
Satu yang Gabriel rasakan saat dirinya melihat sahabatnya itu menangis tersedu-sedu sampai tidak mampu untuk membalas perkataannya adalah sebuah rasa sesak di dadanya. Bagi Gabriel kebahagiaan Ify adalah bahagianya. Senyum Ify adalah senyumnya. Luka Ify juga lukanya. Tangis Ify juga tangisnya. Airmata gadis itu juga airmatanya. Semua yang menyangkut gadis itu juga menyangkut dirinya. Itu yang Gabriel ikrarkan semasa mereka kecil.
“Ify….” Untuk kesekian kalinya, Gabriel merafalkan kata itu. kata yang terdiri dari satu huruf vocal dan dua huruf konsonan. Satu nama yang ntah kapan mulai membuat dirinya tersenyum saat gadis itu tersenyum dan membuatnya sesak kala dirinya melihat airmata meluncur bebas bagaikan air hujan di kedua pipi gadis itu.
“Gab… bawa gue pergi dari sini,” mohon Ify tanpa melepaskan pelukannya. Rasanya pelukan ini mampu menunjang tulang-tulangnya agar tidak terlepas di tempat itu saat itu juga. Membuatnya tidak harus jatuh tersungkur saat dirinya tidak memiliki sanggahan seperti saat ini. Baginya, pelukan Gabriel adalah segalanya untuk saat ini. Pelukan yang Ify anggap sebagai kakinya saat ini, kaki yang masih dapat melangkah meninggalkan tempat terkutuk itu saat ini juga. Pelukan yang menurut Ify menjadi penunjuk arahnya. Intinya… pelukan ini sangat berarti untuk Ify saat ini, esok dan hari-hari selanjutnya yang akan dia lalui. Mungkin dengan tangisan atau tawa.
Tapi siapa yang tahu, esok hari akan seperti apa. Jangankan esok hari, satu yang menit yang akan datang pun seseorang tidak mampu memprediksi apa yang akan terjadi, bukan?
—oOo—
“Lo dari mana aja, Fy?” tanya Via saat Ify memasuki ruang kelas setelah melewati dua jam pelajaran Fisika.
Ify menghempaskan tubuhnya, duduk tanpa lagi menoleh ke belakang tempat di mana Shilla duduk. Ify menarik napas sesak. “UKS.” Jawab Ify singkat kemudian memilih untuk mengaduk-aduk tasnya, mengeluarkan buku PKN beserta alat tulis lainnya.
Via mengangguk paham. Tanpa lagi bertanya, Via langsung membenahi duduknya menjadi lurus ke arah depan. Pada saat itupula, Pak Sukirman memasuki ruang kelas sambil berdehem guna menghentikan celotehan murid-murid lainnya.
Di belakang sana, Rio menatap semuanya dengan dahi berkerut. Jangan salah, sejak dua jam yang lalu dirinya juga dibuat bingung dengan bolosnya Ify. Tidak seperti biasanya gadis itu meninggalkan jam pelajaran tanpa suatu alasan yang jelas. Biasanya gadis itu paling anti meninggalkan pelajar.
“Cewek lo darimana, Yo?” Tanya Alvin yang memang duduk bersebelahan dengan Rio sambil berbisik. Di depan sana, Pak Sukirman sudah membuka laptopnya dan menyalakan proyector. Pada detik berikutnya biasan gambar mulai muncul pada layar datar yang berada di tengah-tengah ruangan.