Bab 3 — Pria Berhati Es
Entah mengapa setelah mendengar ocehan Cakka tentang Shilla, Sivia merasa yakin sekali kalau Shilla juga ada hubungannya dengan Rio dan juga Ify. Bukankah Alvin dan Rio bersahabat sejak kecil? Tidak mungkin kalau Alvin tau Shilla tetapi Rio tidak tahu ‘kan?
Sivia menghembuskan nafas sekasar mungkin. Ah, rasanya sudah begitu lama ia menunggu Alvin, dan kalau sampai hanya gara-gara Shilla datang ke kehidupan pria itu dan memporak-porandakan semua usahanya, bagaimana kabarnya dengan hati Sivia? Kembali teringat akan kata-kata Cakka tadi, bahwa foto yang ada di dompet Alvin adalah potret Shilla. Kalau memang benar betapa beruntungnya Shilla bisa dicintai oleh orang—yang sampai sekarang ia cintai.
Matanya tidak bosan untuk melihat pria oriental yang sedang mengerutkan dahinya mencoba mengerjakan tugas neraka itu. Ah, Sivia mana pernah bosan sih menatap wajah itu? Tetapi tiba-tiba terlintas di otaknya bayangan foto Alvin dengan cewek yang diduga Shilla membuat jantungnya kembali mencelos. Astaga, betapa sesak hatinya kalau sampai usahanya selama ini gagal. Alvin tidak jahat, dia memang tidak menyukai Sivia, jadi tolong mengertilah! Lagi pula siapa yang mau pacaran sama orang gendut, nggak cantik, nggak pintar, nothing special dan agak nggak kelas? Pikir Sivia miris. Okay, sekarang muka Sivia mulai putih pucat sama seperti Ify. Tangannya terus menerus mengepal mencoba menahan semua amarah serta emosinya saat ini.
“Vi....” Itu suara Agni yang memanggilnya dari belakang sambil memegang pundaknya, Sivia berbalik badan dan tersenyum kecil, “Ya?”
“Lo... nggak ikut-ikutan Ify jadi sakit ‘kan?”
“Maksud lo?”
“Are you okay?” Tanya Agni lagi. Sivia diam sesaat memikirkan pertanyaan Agni. Baikah dia? Mungkin saja, tetapi tidak untuk hatinya ‘kan?
Sivia mengangguk kecil menyatakan bahwa dirinya baik-baik saja tetapi sialnya Agni orang yang tidak gampang ditipu, ah cewek itu cocok jadi psikolog rupanya.
“Gue nggak apa-apa Ag, trust me!”
“Oke.” Agni mengakhiri percakapan dan kembali mengerjakan tugas yang tadi di kasih Bu Fat.
—oOo—
Bel istirahat berdentang nyaring ke seluruh pelosok bangunan SMA Dwi Pembangunan. Semua siswa yang memang menunggu bunyi itu langsung balik kanan grak ke kantin. Ntahlah, kenapa sampai saat ini kantin menjadi tempat paling favorit untuk siswa maupun mahasiswa. Fungsi kantin bahkan sedikit berubah, yang dulunya hanya tempat makan, kini menjadi lebih banyak fungsi. Salah satunya menjadi tempat bergosip paling TOP, tempat pacaran yang paling romantis (romantis di sini maksudnya bisa makan ini itu sesukanya. Tanpa kelaparan. Walau pada akhirnya harus menguras kantong mereka yang tidak seberapa dalam) ckck, anak muda zaman sekarang!
Tetapi, berbeda dengan Sivia yang malah melangkahkan kakinya ke UKS. Niat hati ingin menjenguk sahabatnya, sambil mencurahkan isi hatinya dan beberapa spekulasi tentang siswi-baru-di-kelasnya-yang-kemungkinan-memiliki-hubungan-masa-lalu-dengan-Rio-dan-Alvin.
“Fy…” Sivia melangkah sambil memanggil Ify sepelan mungkin, ia melihat sekeliling. Oh bagus tidak ada Rio di sini jadi ia bebas menanyakan apapun kepada Ify.
Sejujurnya ia tak ingin menanyakan atau bahkan sampai mencampuri urusan sahabat dan pacarnya itu tetapi kalau mendengar kata-kata Cakka tadi siang. Ia takut. Sangat takut kalau Alvin meninggalkannya. Oh jangan bilang kalau Sivia itu agresif. Siapa sih yang nggak kesal kalau orang yang kita kasih kode nggak pernah peka?
Ify memalingkan wajahnya dan sekarang beradu tatap dengan Sivia. “Kenapa?”
Mendengar jawaban Ify, entah mengapa Sivia semakin bimbang harus bertanya atau hanya diam saja. Tanya. Tidak. Tanya. Tidak. Tanya! Ya ia harus menanyakan kepada Ify. masalah dijawab atau tidak itu bisa belakangan kok.