Bab 8 — Berubah
Dug...Dug...Dug..!
Suara hentakan basket yang menggaung di GOR sekolah itu menyentakkan Agni dari lamunanya.
“Loh? Cakka?” Tanyanya bingung ketika mendapati Cakka melempar bola basket dengan asal-asalan dan kasar, ia tahu kalau Cakka pasti sedang ada masalah. Tidak biasanya ia memainkan bola basket dengan kasar seperti itu.
“Kenapa, Kka?” Agni berusaha memasang senyuman terbaiknya ketika Cakka menoleh dan menatapnya dengan sengit, “Bukan urusan lo.” Jawabnya jutek dan mengambil bola basket yang tadi ia lempar secara asal lalu pergi meninggalkan Agni begitu saja.
Agni memegang dadanya yang tiba-tiba diserang penyakit nyeri akut, “Duh, kok tiba-tiba sakit ya?”
Dua detik berikutnya Agni tersadar bahwa Cakka sudah berjalan di depannya beberapa langkah dari tempatnya berdiri sambil mendrible bola basket itu. Masih penatap punggung Cakka yang lebar, tiba-tiba saja sebuah pemikiran menyeruak kepermukaan. Seandainya dia bisa sedikit lebih agresif untuk mendekati Cakka, mungkin saat ini Agni sudah berlari dan langsung menubruk punggung lebar milih Cakka sambil menenggelamkan wajahnya di sana. Menghirup sebanyak mungkin bau milik Cakka. Mengalirinya melalui rongga pernasapannya hingga keparu-paru dan akhirnya mengalir bersama aliran darahnya menuju keseluruh bagian tubuhnya. Dan hingga akhirnya dia akan menyimpan bau wangian Cakka ke dalam hatinya. Menguncinya dan akan membuatnya tibul suatu saat nanti.
Agni tidak pernah ingin menyimpan sesuatu yang berharga di dalam otaknya. Karena, seiring berjalannya waktu, semua yang disimpan dalam memori otak pasti perlahan-lahan akan mulai mengabur hingga akhirnya hilang begitu saja, tanpa meninggalkan bekas untuk dikenang. Benar begitu? Lain halnya saat sesuatu itu disimpan rapat dalam hati. Dia akan kekal selamanya. Tidak akan lapuk termakan usia apalagi sampai menghilang tanpa jejak.
Dengan setengah berlari, Agni mengimbangi langkah lebar-lebar milik Cakka. Walau saat ini posisi Agni berjalan di samping Cakka, entah kenapa dirinya merasa seakan-akan tengah berjalan di belakangnya. Hanya bisa mengawasi tanpa mampu bisa menggenggam tangannya. Hanya mampu membuntuti tanpa mampu melangkah bersama dengan iringan kaki yang seirama.
“Kka, lo butuh seseorang buat jadi tong sampah lo saat ini.”
Agni masih berjalan dengan langkah setengah berlari di samping Cakka. Menatap Cakka dari samping sambil menyelami dan mereka semua siluet wajah Cakka ke dalam hatinya. Cakka tetap bergeming, terus berjalan tanpa mengindahkan Agni yang terus berjalan sambil menatap diriya dengan intens.
“Gue mau jadi tong sampah lo, Kka. Gue bersedia,” ujar Agni akhirnya sambil menghentikan langkahnya. Menurutnya, semua tetap akan sia-sia saja jika Agni tetap memilih untuk mensejajari langkah kakinya dengan langkah Cakka hanya untuk mampu bisa berjalan bersisian dengan laki-laki itu.
Agni menatap punggung lebar milik Cakka dengan dada naik turun. Beberapa langkah dari tempat Agni berhenti, Cakka juga mendadak menghentikan langkahnya, berbalik perlahan menatap Agni sambil tersenyum manis.
“Salah nggak sih gue suka sama sahabat gue sendiri, Ni? Oke. Sorry kalau gue nanya ini ke elo seakan-akan gue nggak ngehargain perasaan lo ke gue, tapi gue nggak tau lagi harus ngapain. Ini bener-bener aneh, Ni.” Cakka mengentikan langkahnya dan menghadap Agni yang telah lebih dulu menatapnya.
“Ya. Ini aneh, Kka. Seaneh kamu yang nggak pernah noleh ke aku, ngeliat aku, dan respect sama aku.” Agni berkata pelan tetapi Cakka dapat mendengarnya dengan jelas, bahkan sangat jelas.
“Maaf kalo selama ini gue selalu nutup hati gue buat lo, selalu menulikan telinga gue akan suara lo dan membutakan mata gue akan diri lo. Sorry, tapi honestly gue nggak bisa ngilangin perasaan gue sama Via, Ni. Lo tau itu kan?”