Bab 7 — PERJANJIAN KONYOL
“Gue… mau lo jadi pacar gue.” Ceplos Via tanpa sadar. Alvin langsung melepaskan tangannya dan menatap tidak percaya gadis yang kini tengah memukul-mukul mulutnya.
Bego. Mulut lo kenapa cablak banget sih, Vi. Ya Tuhan… mau ditaro di mana ini muka?Sivia merutuki kebodohannya sendiri dan tetap mendongak sembari menatap Alvin tanpa berkedip. Entah angin topan dari mana tiba-tiba saja ia melihat kepala Alvin mengangguk seakan mengatakan jawaban yang dinanti-nantinya. Di dalam sana, kembali hati Via bersorak gembira
“Ya. Gue mau jadi pacar lo...” Jawab Alvin lembut, waktu seakan berhenti berputar pada saat itu, membuat Via seakan-akan melayang-layang bebas di angkasa, menabrak angin dengan riang, bahkan sedikit lagi tangan tidak kasat mata itu akan menyentuh awan kebahagiaan. Tetapi tiba-tiba saja tangan harapan yang ingin menyentuh awan itu semakin lama semakin jauh, entah tangan harapan Via atau awan kebahagiaan itu yang menjauh, yang pasti semuanya menjauh, sampai akhirnya sebuah suara menyentakkan Via dari alam khayal, “Heh! Jangan bengong kek.” Alvin membentak Sivia dengan keras, Argh sialan ternyata tadi dia hanya berhalusinasi. Tiba-tiba saja, rasa sakit saat dibuat terbang tinggi kemudian dihempaskan ke atas tanah begitu saja mulai menjalari tubuh Via.
Kembalilah Sivia menatap Alvin dengan tatapan memohon, oke baiklah tadi dia memang menembak Alvin dan ia tidak menyesal karena mungkin dengan cara ini Alvin akan lebih peka dan who knows tiba-tiba cowok itu menerima cintanya kan? Lagian untuk cewek pada jaman sekarang nembak cowok itu biasa kok. No harm lah, so apa yang mesti Sivia takuti?
“Lo... nggak punya otak ya?!”
Ugh! Mungkin ia harus menakutkan kemungkinan yang satu ini.
Sivia menunduk seakan-akan takut melihat wajah Alvin tetapi tiba-tiba ia merasakan tangan kokoh berada di bahunya, “Sekali lagi gue peringatin untuk stop baik sama gue, plis banget! Gue nggak butuh semua kebaikan lo. Ngerti?!” Alvin berkata tajam sambil menatap Sivia dengan tatapan marah tanpa Sivia sadari tatapan itu ternyata berpengaruh besar bagi tubuhnya—yang kebetulan sedang tidak fit. Membuatnya harus kembali mengatur napasnya jika dia tidak ingin luruh di hadapan Alvin.
Via mundur teratur dan berusaha mengatur nafasnya agar tetap stabil. Berusaha menarik napas senormal mungkin dan kembali menghembuskannya secara perlahan. Tetapi semuanya sia-sia. Sesak itu semakin menggedor-gedor paru-parunya, seakan-akan mendesakkanya untuk segera mengisi oksigen—yang memang sudah dia lakukan sejak tadi. Namun, bukannya stabil justru semakin membuatnya sesak apalagi ketika melihat Shilla yang datang menemui Alvin dan berusaha membersihkan noda yang tercetak jelas di kemeja pria itu.
“Aduh… Vin, kenapa bisa kotor gini sih?” Tanya Shilla terus menunduk sambil membersihkan kemeja sekolah Alvin dengan saputangan yang beberapa menit lalu dikeluarkannya dari saku kemejanya.
Alvin diam. Memandangi wajah Shilla yang kini tepat berada di bawahnya. Tanpa sadar senyum terukir di bibir Alvin, membuat Via kembali menarik napas menahan sesak yang kian mengerogoti tubuhnya.
“Lo apain Alvin, Vi?” Shilla mengintrogasinya dengan pertanyaan bodoh. Ia apakan Alvin memangnya? Membunuhnya? Tidak kan? Ia hanya tidak sengaja menumpahkan minuman ke baju cowok itu.
“Biasa. Gara-gara cewek pembawa sial ini—“ Alvin memberikan jeda sedikit untuk perkataannya dan mengacungkan tangannya guna menunjuk tepat di depan muka Sivia dengan gerakan seperti kehabisan kesabaran, “—gue jadi ketiban sial mulu.”
Shilla menatap Via dan Alvin bergantian, dan kembali fokusnya ke arah Via yang kini malah menundukkan kepalanya. Saat kata-kata itu meluncur bebas dari mulut orang yang dicintainya seperti Alvin, hatinya langsung merasakan nyeri yang begitu dalam. Seperti ada sebuah duri tidak kasat mata yang menyusup di dalam hatinya, dan dengan perlahan mulai menorehkan luka-luka kecil di dalam sana.