Bab 11 — Tetap Tinggal… Please!!
Ify turun dari mobil. Kemudian berjalan beberapa langkah dan berdiri di samping pintu penumpang di mana Viena duduk sambil menunduk dan berusaha untuk menghapus airmatanya. Semilir angin membuat rambut Ify yang terkuncir sembarangan dan helaian demi helaian yang tidak terikat melambai mengikuti angin dan akhirnya kembali jatuh pasrah saat angin sudah tidak mengangkatnya dan terombang-ambing.
Kaca jendela mobil di samping Viena perlahan mulai turun setelah Fikri menekan entah tombol yang mana. Fikri menoleh kemudian memberikan Ify sebuah senyuman, hal yang sama juga dilakukan oleh Viena. Beliau mengangkat wajahnya sambil tersenyum dengan menatap Ify dalam. Jejak-jejak airmata masih tampak di kedua pipi Viena yang—baru Ify sadari—sedikit tirus.
Melihat senyuman kecut dari sang Ayah membuat Ify buru-buru mengalihkan tatapan matanya dan memilih untuk hanya terfokus pada satu titik. Sang Bunda. Viena belum juga melepaskan senyumannya sampai akhirnya suara Ify terdengar dan nyaris membuatnya bungkam.
“Nda ,,, aku masuk dulu ya. Jaga kesehatan Bunda,” Ify mendesah. Kemudian tangannya terangkat, singgah di kedua pipi Viena, perlahan ibu jari kedua tangan Ify mulai turun kemudian naik kembali. Terus seperti itu berulang kali sambil menatap dalam Viena, “Pipi Bunda tirus sekarang. Porsi makannya ditambah ya, Nda. Minum vitamin juga. Aku nggak mau Bunda kurus terus sakit.”
Rasanya… untuk kesekian kalinya yang tidak dapat dihitung, hati Vieana terasa nyeri. Nyeri yang disebabkan oleh perhatian yang diberikan oleh Ify. Bukan nyeri dalam hal lain. Tapi, sebuah rasa nyeri saat diri kita sadar, bahwa seseorang yang kita harapkan berbicara dan memberikan perhatian seperti itu malah orang lain. Ify memang bukan lain untuk hidup Viena, namun Viena tidak dapat memungkiri bahwa dalam hatinya yang paling dalam dia menginginkan Fikri-lah berujar seperti itu.
Kini… Viena mulai merasakan sebuah jurang yang terjal mulai membentang diantara dirinya dan sang Suami. Jurang yang kini semakin jauh memisahkan diri dan terdapat sebuah lubang yang menganga lebar di tengah-tengahnya dengan kedalaman yang tidak mampu untuk diukur. Salah sedikit saja melangkah, Viena yakin dirinya tidak akan mampu lagi berdiri tegak, yang ada dia akan tergelincir dan akhirnya jatuh ke dalam lembah tak terhitung dasarnya dimana yang berada di tengah-tengah jurang itu.
Viena menarik napas. Hatinya, jantungnya, paru-parunya, kerongkongannya, matanya bahkan mulutnya terasa sakit. Hatinya sakit dengan jalan cerita kehidupan cintanya dengan laki-laki yang dicintainya itu tengah terombang-ambing seperti ini. Sebuah rasa yang kini disadarinya, bahwa cintanya hanya berat disatu pihak.
Jantungnya kini mulai berdetak lemah setiap harinya saat dirinya tersadar, bahwa sumber detakannya itu perlahan mulai berjalan mundur sedikit demi sedikit.
Dan paru-parunya kini mulai menolak tiap kali dirinya mengisi oksigen. Rasanya… saat mengalirkan oksigen, Viena bukannya merasakan sebuah kelegaan, yang ada merasa sesak yang mengisi. Sesak yang amat sesak. Jikalau dirinya dapat memilih, ingin rasanya ia berhenti untuk bernapas. Apalagi saat ini, “Oksigen”-nya mulai berlari menjauhinya. Saat separuh napasnya tidak lagi mau berbagi oksigen dengannya. Semua semakin menyesakkan untuk hidupnya.
“Sayang…,” Viena mendesah sambil memegang kedua tangan Ify. Kemudian tersenyum sambil menatap balik Ify, “Bunda nggak apa-apa.” Tenggorokan Viena tercekat.
Sakit kerongkongan dan tenggorokannya pun juga sama. Dikala ingin dirinya berucap, meluncurkan kata demi kata untuk melegakan hatinya, ia tetap tidak mampu. Apalagi saat dirinya bertatapan dan berdiri di depan Fikri. Semua kata yang sudah berada di pangkal tenggorokannya maka akan kembali mundur dan akhirnya tidak terucap sama sekali. Hingga akhinya, sampai saat ini, ia hanya mampu diam membisu. Bersikap seolah-olah dia baik-baik saja walau pada nyatanya Sesuatu yang baik-baik saja itulah yang sebenarnya tidak dalam keadaan yang baik.