Bab 10 — Satu Kesempatan
“Aku paham kok, Yah. Ngerti kok. Anak yang Ayah sayang, kan cuma Shilla.” Kata Ify sambil tertawa pelan. Menghapus airmatanya dengan kasar. “Ify sama Bunda cuma jadi pajangan di kehidupan Ayah.”
“Ify! Udah!” Seru Viena tidak tahan lagi. langsung memeluk Ify erat. Menangis bersama gadis itu.
“Udah ya… udah Sayang…” Viena terisak sambil mengusap bahu Ify naik turun. Mengecup berulang kali puncak kepala Ify.
“Ayah…” panggil Ify pelan. Fikri yang sedari tadi hanya tertunduk, kini mengangkat wajahnya. Di depannya, Fikri menerima senyum manis dari Ify.
“Maafin Ify dan Bunda yang sudah merebut kebahagian Ayah,”
—oOo—
“Bunda…” Panggil Ify lirih sambil memainkan jemari sang Bunda yang berada di atas perutnya. Saling memeluk satu sama lain sambil tiduran di atas bed milik Ify.
Ify mendongak, menatap wajah Viena yang kuyu sehabis menangis. Kedua matanya beliau tampak masih memerah, “Maafin Ify.”
“Bukan salah kamu, Sayang,” Ujar Viena sambil mengelus kepala Ify, menciumi puncak kepala gadisnya dengan setetes airmata yang jatuh secara perlahan. “Ini bukan salah kamu.” Gumam Viena sekali lagi. Tangannya tidak henti-hentinya mengelus kepala Ify, terus turun hingga mengelus tangan Ify yang berada di atas perutnya. “Ini salah Bunda di masa lalu. Salah Bunda yang menggunakan kekuasaan Kakek kamu untuk memiliki Ayah kamu. Padahal saat itu Bunda jelas tahu kalau Ayah kamu sudah menikah dengan Maria sahabat Bunda sendiri.”
“Ini bukan salah Bunda,” sanggah Ify. “Ini semua salah cinta. Cinta yang buta.”
“Tapi ini semua tetap salah Bunda sayang,” Viena menghembuskan napas frustasi. “kalau dulu Bunda bisa melepas Ayah kamu, dan menikah dengan laki-laki yang mencintai Bunda, mungkin saat ini Bunda ngga akan ngerasaain sakit seperti ini begitupula dengan kamu.”
“Kalau Bunda nggak menikah dengan Ayah, Ify juga nggak akan pernah ada, Nda.” Sanggah Ify terdengar lirih.
“Maafin Bunda, Sayang. Maafin Bunda sekali lagi. Karena Bunda kamu jadi jauh dengan Ayah kamu. Kamu nggak lagi merasakan kasih sayang beliau.”
“Nda…,” Diam sejenak, Ify menarik napasnya perlahan kemudian meng-hembuskannya juga secara perlahan. Tanpa menatap Viena, Ify kembali melanjutkan ucapannya, “aku mau kita pergi dari sini. Tinggalin Ayah, biarin dia bersatu lagi sama keluarganya. Ify nggak kuat kalau kayak gini terus. Aku… aku lebih baik nggak punya Ayah daripada punya Ayah yang nggak lagi menganggap aku sama Bunda ada.” Ify kembali terisak. Semakin mengeratkan pelukannya kepada sang Bunda.
“Sstt... sayang… hey, coba liat Bunda.” Pinta Bunda sambil mendongakkan mata Ify yang basah oleh airmata. “Kamu mau menyerah di tengah jalan seperti ini?”
Ify mengangguk sambil menangis.
“Sia-sia dong selama ini perjuangan kamu untuk membuat Ayah perhatian lagi sama kamu. Coba kamu ingat-ingat lagi perjuangan kamu menarik perhatian Ayah selama ini? Nggak sayang, Fy?” Viena berusaha untuk menyadarkan pemikiran sesaat anak gadisnya tersebut. Viena sadar, saat ini emosi Ifylah yang lebih mendominan pikiran Ify.
“Aku udah nggak kuat Bunda. Nggak cuma Ayah yang diambil sama Shilla. Tapi…” jeda sesaat. Ify kembali terisak dengan airmata yang meleleh deras di kedua pipinya, “Nggak cuma Ayah dan kebahagian keluarga ini yang diambil Shilla, Nda. Rio juga. Hati dan cinta Rio bukan buat aku lagi. Tapi buat gadis itu.”