3

157 9 0
                                    

Pindah Kelas


Saat pelajaran berlangsung, Calista benar-benar tidak fokus. Bahkan saat mengejar pre-test, dia hanya mendapatkan nilai 80. Namun, pikirannya tidak terlalu tertuju pada nilai saat ini; yang dominan adalah kekhawatiran mengenai keputusan yang diambil oleh sekolah terkait penggantian kelas.

Saat bel berbunyi, Calista langsung pergi ke ruang operator sekolah dan bertanya kepada petugas yang bertugas. Namun, jawaban yang dia terima tidak sesuai dengan harapannya. Kebijakan kelas tiga yang ditetapkan sekolah untuk meningkatkan nilai setiap siswa, tetapi itu tentu tidak berlaku baginya. Bagaimana nilai bisa meningkat? Bagaimana dia bisa mengalahkan Peter? Ya sebut saja Calista merasa kurang percaya diri.

Peter bukan hanya siswa pintar, dia adalah jenius sejati. Calista selalu belajar, bahkan pada hari libur sekalipun. Saat ujian, dia tidur tengah malam dan bangun pukul tiga pagi untuk terus belajar. Ketika pagi tiba, dan Calista sarapan di rumah mereka, ibunya menjelaskan bahwa Peter begadang hingga jam 3 pagi. Calista berpikir Peter begadang untuk belajar, tetapi ibunya menjelaskan bahwa ia begadang untuk bermain game. Meskipun begitu, saat pengumuman peringkat, Peter tetap berada di peringkat pertama. Kegigihan Calista dihadapkan pada kejeniusan Peter yang membuatnya merasa tidak percaya diri.


Mungkin banyak orang yang berpikir bahwa Calista terlalu egois, ambisius, dan kurang bersyukur dengan apa yang sudah dia capai. Peringkat dua bukanlah sesuatu yang buruk. Tetapi bagi seseorang seperti Calista, yang telah memiliki langkah-langkah dan tujuan tertentu, peringkat itu bukanlah pencapaian optimal.

Calista sudah menetapkan tujuan untuk melanjutkan studi di universitas di luar negeri. Namun, sebagai seseorang yang tidak memiliki kekayaan berlimpah, ia membutuhkan beasiswa penuh. Terdapat beasiswa  yang tidak membutuhkan banyak syarat, tetapi salah satu syarat beasiswa tersebut adalah selalu mendapatkan peringkat pertama, atau paling tidak peringkat tidak boleh turun. Bagi Calista, berada di peringkat dua di sekolah saja sudah tidak memuaskan. Dia tidak tahu bagaimana akan menjadi jika dia mendapatkan peringkat dua di kelas.

Dalam pandangan Calista, peringkat itu bukan hanya angka. Ia melihatnya sebagai langkah menuju impian besar yang harus diukur dengan pencapaian tertinggi. Bagi Calista, hanya peringkat pertama yang dapat membuka pintu menuju universitas impian dan mewujudkan cita-citanya. Oleh karena itu, bekerja keras untuk meraih peringkat pertama menjadi suatu keharusan dan tidak boleh ada ruang untuk kekurangan atau kesalahan.

***

Calista merenung di kamarnya, suasana hatinya tidak pernah seburuk ini. Biasanya, di saat seperti ini, dia akan terkubur dalam belajar, tetapi kali ini bahkan melihat buku saja tidak ada keinginan. Teleponnya terus bergetar di atas tempat tidur, dia awalnya tidak berniat melihatnya. Namun, saat melihat nama 'Peter' di layar telepon, Calista mengerutkan kening. Meskipun dengan hati yang berat, ia akhirnya melihat teleponnya, ia tidak menolak atau menjawab panggilan itu. Dia hanya memandang layar hingga panggilan berubah menjadi panggilan tak terjawab dari seseorang di seberang sana.

Setelah panggilan mati, Calista melihat pesan dari Peter yang menyatakan bahwa ibunya mengundangnya untuk makan malam di rumah mereka. Calista hanya membuang nafas kasar melihat pesan itu dan membalas dengan singkat, 'Ok'. Ia tidak memiliki semangat atau keinginan untuk bersosialisasi saat ini.

Tentu saja, Calista tidak bisa menolak undangan makan malam dari keluarga Wijaya. Hutang budi keluarganya pada keluarga mereka sudah begitu banyak. Ibunya dan Tante Tania adalah sahabat sejak kecil, berasal dari desa yang sama. Meski Tante Tania pindah ke kota saat SMP, dan kebetulan saat SMA, ibu Calista sekolah ke kota dan mereka berada di sekolah yang sama. Keduanya semakin dekat karena ibu Calista tinggal bersama keluarga tante Tania.

Namun, setelah menikah, hubungan antara kedua keluarga ini mulai berkurang. Mereka jarang berkomunikasi dan sibuk dengan keluarga dan pekerjaan masing-masing. Orang yang dikenal oleh ibu Calista di Ibukota ini hanyalah Tante Tania. Ketika ibunya sakit dan harus pergi ke rumah sakit besar, keluarga tante Tania menjadi sosok yang pertama dan banyak membantu, tidak hanya secara finansial namun juga memberikan pekerjaan kepada ayah Calista yang awalnya dianggap tidak kompeten.

Rumah tempat mereka tinggal saat ini sebenarnya juga milik keluarga mereka. Meskipun rumah tersebut semula hanya digunakan untuk beberapa ART mereka, namun diberikan kepada keluarga Calista secara cuma-cuma saat ibunya dirawat di rumah sakit. ART mereka tinggal di belakang rumah, dan keluarga Wijaya membangun rumah kecil juga untuk merekatinggal. Selain itu, keluarga Wijaya juga membiayai pendidikan Calista sejak dia pindah ke kota hingga saat ini. Ini merupakan bantuan besar yang membuat keluarga Calista merasa sangat berhutang budi pada keluarga Wijaya

Hutang yang dirasakan Calista pada keluarga Wijaya sangat besar, dan semakin banyak bantuan yang mereka terima, semakin tertekan pula dia merasa. Calista merasa terikat untuk berbuat baik dan tidak bisa menolak apa pun yang diminta oleh keluarga Wijaya. Dia merasa terjebak dalam hidup seperti ini, tetapi ingatan tentang hutang budi itu selalu diingatkan oleh ibunya sebelum meninggal.

Ibu Calista selalu mengingatkannya bahwa keluarga mereka berhutang besar pada keluarga Wijaya. Sebagai hasilnya, Calista tumbuh menjadi seorang gadis yang patuh dan tidak bisa menolak permintaan mereka. Pandangan ini tertanam kuat dalam diri Calista, dan dia merasa memiliki kewajiban moral untuk menunjukkan rasa terima kasih dengan tunduk pada semua yang diinginkan oleh keluarga Wijaya.

Semua bantuan dan kebaikan yang diterima oleh Calista selalu menjadi beban yang membayangi dirinya sepanjang hidupnya. Meskipun dia sadar bahwa keluarga Wijaya tidak pernah mengharapkan balasan dan selalu melihatnya sebagai bagian 'anak' dari keluarga mereka, perasaan berhutang ini terus menghantuinya. Calista merasa kewajiban moral untuk mengabulkan setiap permintaan dan tidak pernah bisa benar-benar merasa bebas.

***


Calista sedang makan malam bersama keluarga Wijaya, tetapi tuan besar keluarga tersebut, ayah Peter yang bernama Gery Wijaya, tidak terlihat di meja makan. Calista melirik ke arah kursi kosong di ujung meja yang biasa ditempati oleh Gery.

Saat Tante Tania melihat keheranannya, ia memberi tahu bahwa tuan Wijaya dan ayah Peter sedang lembur dan besok pagi akan pergi keluar kota. Selama mereka pergi, Calista akan makan di rumah mereka.

"Jadi mulai besok pagi, Calista makan di sini ya, daripada di rumah sendirian. Oh iya, bagaimana sekolah hari pertama? Kelas berapa?" Tante Tania menunjukkan sikap ke-ibuan, mencoba menunjukkan perhatian pada Calista.

"Oke tante..." Calista menjawab dengan sedikit rasa canggung. Dia melirik Peter, bertanya-tanya apakah dia belum memberi tahu keluarganya tentang hal ini.

"Di kelas 12 Ipa 3" Lanjutnya pelan.

"Akhirnya setelah bertahun-tahun kalian satu kelas juga. Mama senang banget, jadi kalian punya jadwal yang sama kan, mulai besok kalian berangkat dan pulang bareng aja yaa, biasanya kalian menolak dengan alasan mau buat tugas dan segala macem, nanti kalian bisa ngerjain tugas bareng."

Calista bingung, mengapa Tante Tania begitu senang dengan berita ini. Dia merasa bahwa Peter dan dia tidak terlalu dekat.

'Kenapa dia begitu senang? Bukankah dia tahu kami tidak dekat?' pikir Calista, dan sebelum dia bisa menolak, Peter dengan tegas menyatakan, "Baiklah," tanpa mengangkat kepalanya dan melanjutkan makanannya tanpa keberatan.

Calista seperti mendapat pukulan berulang kali. Kejadian hari ini membuatnya sakit kepala, dan dia ingin melempar sendok yang ada di tangannya. Saat Tante Tania bertanya tentang keadaannya, Calista pura-pura baik-baik saja. Lalu Tante Tania bertanya tentang kuliahnya.

"Setelah lulus mau lanjut kemana? Peter akan masuk Universitas M jurusan Bisnis, bagaimana kamu? Masuk jurusan itu juga atau akuntansi? Nanti setelah lulus kuliah kamu bisa kerja di perusahaan dan bisa bantu-bantu Peter juga," ujar Tante Tania sangat antusias menceritakan rencana masa depan Calista, menciptakan gambaran masa depan yang berbunga-bunga. Dengan suasana yang penuh semangat seperti itu, Calista merasa sulit untuk menolak mentah-mentah.

"Maa." Peter mengingatkannya utntuk menahan diri.

"Aaah, maaf mama terlalu excited itu hanya keinginan mama, tapi apapun pilihannya tetap ada di tangan Calista, mama hanya senang melihat kalian tumbuh besar dari kecil sampai besar nanti."

Harmonizing Unspoken EmotionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang