8

100 5 0
                                    


Drama

Keesokan harinya, segalanya berjalan seperti biasanya. Calista masih berangkat ke sekolah bersama Peter, walaupun ia tidak sampai ke gerbang sekolah. Saat memasuki gedung sekolah, tak ada gosip atau desas-desus aneh yang terdengar dari murid-murid lain. Dia melangkah dengan tenang menuju kelasnya.

Berjalan di lorong kelasnya, Calista melihat Rio dan teman-temannya dari kelas lain sedang asyik berbincang. Dia berniat untuk tidak memperdulikannya seperti biasa, melangkah lurus tanpa menoleh ke arah mereka. Namun, tampaknya orang-orang di sana memiliki niat berbeda dengan Calista.

"Hello, good morning Cal," sapanya menyadarkan teman-teman Calista yang juga berada di dekatnya untuk memperhatikan. Calista berhenti sejenak, melirik Rio sebentar sebelum melanjutkan langkahnya. Dengan gumaman pelan, dia menjawab, "Mornin'." Meskipun suaranya pelan, jawaban Calista tetap terdengar oleh mereka.

Setelah Calista memasuki kelas, teman-temannya langsung ramai. Mereka bertanya-tanya bagaimana Rio memiliki keberanian untuk berbicara dengan Calista, apalagi mendapat sapaan balasan darinya. Bahkan Rio sendiripun mengalami syok, tidak menyangka Calista akan menjawab sapaannya. dia berpikir Calista akan menjawab dengan bahu dingin. 

Meskipun terdengar berlebihan, kenyataannya, Calista lebih unggul dalam hal popularitas daripada Peter. Dia sangat populer di kalangan seluruh murid, baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun mungkin ada beberapa perempuan yang tidak menyukainya, namun banyak juga yang mengaguminya. Calista tidak hanya cantik, tapi juga pintar, memiliki sikap dingin, dan terkesan sangat misterius. Tidak seorang pun mengetahui secara pasti tentang keluarganya atau di mana dia tinggal. Ini berbeda dengan Peter, yang memang tampan, kaya, dan pintar, tetapi popularitasnya hanya terbatas pada kalangan para perempuan. Laki-laki tidak terlalu tertarik untuk mengaguminya, mungkin hanya sedikit iri dengan apa yang dimilikinya.

Bel berbunyi, menandakan dimulainya pelajaran pertama, Seni Budaya. Pelajaran ini biasanya tidak terlalu diperhatikan oleh sebagian besar murid, karena bukan termasuk ke dalam empat mata pelajaran utama.

"Ibu sudah berdiskusi dengan guru Seni di kelas lain, dan bahkan juga dengan kepala sekolah. Kami melakukan ini agar kalian punya kenangan-kenangan indah sebelum meninggalkan sekolah, ini juga sebagai bentuk refreshing agar kalian tidak merasa terlalu letih dengan belajar. Jadi, kami memutuskan untuk membuat sebuah drama." Saat kata 'drama' diucapkan, raut wajah semangat murid-murid tiba-tiba berubah menjadi ketidaksetujuan yang mencolok.

Keluhan dan desahan terdengar di seluruh ruang kelas. Mereka yang sudah membayangkan keceriaan liburan dan bebas dari tugas tambahan kini harus berurusan dengan latihan drama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Harmonizing Unspoken EmotionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang