Neighbour
Pagi yang cerah menyambut aktivitas olahraga pagi seorang gadis cantik yang berkeliling taman di depan rumahnya bersama pria paruh baya, ayahnya yang berusia awal 50-an.
"Hari pertama sekolah di tahun terakhirmu. Pertahankan prestasimu agar kamu bisa masuk perguruan tinggi negeri favorit, oke?" kata pria tua itu sambil lari-lari kecil dengan semangat.
"Iya, aku tahu," jawab Calista singkat, tetap mengikuti langkah ayahnya.
"Ingat kata-kata ibumu dulu, jangan pernah terpengaruh oleh pria dan cinta, itu akan memberikan pengaruh negatif. Tinggalkan itu sampai... hei, kemana? Calista, ayah belum selesai berbicara." Gadis itu berbalik dan melangkah pulang sebelum ayahnya selesai berbicara, meninggalkan ekspresi konyol di wajah sang ayah.
Setelah berbalik pulang, Calista melangkah melewati rumah besar tempat ayahnya bekerja, yang juga tetangga mereka. Sebuah tempat yang menjadi saksi bisu perubahan hidup keluarga mereka. Ibunya adalah teman lama nyonya pemilik rumah tersebut, saat ibunya sakit kanker, ayahnya jarang pergi bekerja karena merawat ibunya. Dampaknya fatal; jarang masuk akhirnya membuat ayah Calista dipecat, dan biaya perawatan yang melonjak tinggi mendorong mereka menjual rumah dan harta berharga lainnya.
Dalam kondisi tanpa tempat tinggal dan tanpa sumber pendapatan, ibu Calista meminta bantuan sahabat lamanya yang tinggal di kota. Dengan usaha keras, ibunya berhasil meminjam uang dan mencarikan pekerjaan baru untuk ayahnya. Namun, tantangan muncul karena ayahnya hanya memiliki pengalaman sebagai sopir pengangkut barang di desa.
Solusinya datang dalam bentuk pekerjaan baru, ayahnya menjadi sopir pribadi untuk keluarga itu. Meskipun berbeda dari pekerjaan sebelumnya, ayahnya menghadapinya dengan tekad dan semangat. Kesempatan ini membawa mereka ke kota, di mana fasilitas rumah sakit lebih baik, memberikan perawatan lebih baik bagi ibunya. Mereka akhirnya menetap di rumah kecil di samping rumah teman ibunya. Sepuluh tahun telah berlalu sejak perubahan besar dalam kehidupan mereka.
Calista ingin melangkah masuk rumahnya, dan penjaga di pos depan memberikan kabar bahwa Nyonya mengundangnya untuk sarapan pagi di rumah. Tanpa banyak kata, Calista mengangguk sebagai tanda pengertian dan melanjutkan langkahnya menuju rumah.
Setelah selesai bersiap dengan seragam lengkapnya, Calista pergi ke rumah sebelah. Rumah tersebut terletak tepat di sebelah rumah Calista, tetapi begitu besar dan megah, sekitar lima atau enam kali lipat dari rumah tempat tinggalnya sekarang. Pagar dan halaman yang luas memperlihatkan betapa istimewanya tempat ini
Nyonya Tania, tetangga mereka yang baik hati, menyambutnya dengan senyuman hangat. "Selamat pagi, Calista! Ayo masuk, sarapan sudah hampir siap," ucap Nyonya Tania ramah.
"Pagi kakak." Dengan makanan yang masih di mulutnya, anak kecil itu yang tampaknya berusia sekitar 10 tahun menyapa dengan santai.
"Pagi tante, paman, Jason." sapanya balik sambil duduk di seberang anak kecil tersebut. Saat Jason hendak beranjak turun dari kursinya, tante yang ada di sebelahnya bertanya kenapa turun. Jason menjawab dengan penuh kepolosan, "Jason ingin duduk di sebelah kakak." Tapi, sebelum anak kecil itu sempat duduk, seseorang telah mengambil tempat itu lebih dulu.
Seorang anak laki-laki yang menggunakan seragam sekolah yang sama dengan yang dipakai oleh Calista telah duduk di sana lebih dulu. Tatapan keduanya bertemu sejenak, tetapi tak ada sapaan yang keluar dari bibir mereka.
"Iiih... kakak pindah, Jason mau duduk di sebelah kak Cal." Rengek anak itu dengan ekspresi kecewa. Kesempatan untuk sarapan bersama Calista sangat langka, dan ia sungguh ingin duduk di sebelahnya.Tetapi laki-laki itu tetap tak beranjak dari tempat duduknya. Seakan mempertahankan posisinya dengan tegas.
"Jason ga mau duduk dekat mama ya?" ucap bibi dengan nada pura-pura sedih, mencoba menggoda anaknya.
"Bukan ma, Jason mau duduk di sebelah kak Cal," sahut Jason dengan penuh keyakinan.
"Besok ya. Kakak buru-buru mau pergi sekolah, mereka sudah terlambat. Ini hari pertama mereka masuk sekolah, Jason mau kakak-kakak Nya dihukum bu guru?" bujuk ibunya sambil menepuk kursi di sebelahnya, dengan segala keterpaksaan Jason akhirnya menurut dan duduk di sebelah mamanya.
Mereka pun memakan makanannya dengan tenang, suasana sarapan yang hangat melingkupi meja keluarga tersebut.
"Sudah lama Calista tidak makan bareng kita kan? Nanti berangkat sekolah bareng Peter aja ya. Biasanya hari pertama sekolah sering macet, takutnya terlambat kalau naik bus," ucap tante dengan suara lembut, memberikan saran dengan kebaikan hati.
Peter, anak sulung keluarga ini, adalah sosok yang sangat tampan dan mirip dengan Calista, sangat pendiam. Bahkan saat ibunya berbicara, dia bahkan tak melirik dan hanya fokus pada makanannya, tetapi seluruh keluarga sangat memahami dinamika hubungan antara Calista dan Peter.
"Oh, baik tante," jawab Calista tanpa penolakan. Meskipun ia merasa sedikit terkejut dengan saran itu, Calista mengerti bahwa tante hanya ingin memberikan kenyamanan baginya di hari pertama sekolah. Peter, meskipun kelihatannya tak terlalu terpengaruh dengan pembicaraan itu, mungkin juga setuju dengan saran ibunya.
Setelah sarapan, semuanya pun bergegas dengan tujuan masing, paman dan tante berangkat ke kantor mereka masing-masing, Jason di antar ke Taman kanak-kanak, Peter dan Calista pun berangkat dengan mobil yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harmonizing Unspoken Emotions
Fiksi RemajaCalista Elvania, seorang gadis yang tumbuh dalam bayang-bayang kebaikan tetangganya, hidup dengan ayahnya setelah kepergian ibunya. Meskipun bantuan keluarga tetangga memberikan kesejahteraan, hubungan antara Calista dan Peter, anak laki-laki tetang...