Prolog

59K 4.1K 45
                                    

Aku nekad, publish cerita baru lagi... Hehe. Maafkeun. Doakan saja cerita ini nggak lebih buruk dari cerita sebelumnya.

🍁🍁🍁🍁


"Aku mau putus."  cetus Nadia suatu malam. Bibirnya bergetar, jantungnya kesakitan.

Bisa Nadia lihat bagaimana mata hitam yang selalu ia kagumi delapan tahun ini membulat terkejut. Jari-jari yang biasa mengusap puncak kepalanya tergenggam erat. Nara marah. Tapi Nadia yang seharusnya lebih marah.

Ia digantung sedemikian lamanya.

"Ini balasanmu? Ini bentuk cinta yang kau punya." tanya Nara dingin, "ini bukan cinta, Sayangku. Aku kasih kamu apapun. Aku setia mati-matian. Dan pengkhianatan yang kau hadiahkan padaku." tawa frustrasi Nara membahana, kasar ia mengusap sudut matanya, "Ah Tuhan, kenapa aku harus mencintai wanita ular sepertimu?"

Jantung Nadia berdenyut sakit. Rasanya seperti baru saja tertombak. Nara tidak pernah sekasar ini sebelumnya.

"Oke. Kita putus." tambah pria itu mendesis. Membalik punggung, melangkah lebar tanpa diseret. Barangkali Nara memang benar-benar sudah muak dengan pengkianat sepertinya.

Tersisa Nadia yang tak bisa lagi menahan tangis. Satu dua air mata lolos, saat ia pandangi punggung itu menjauh. Kali ini benar-benar selesai. Nadia meluruh, memukul dadanya yang sesak kuat-kuat. Masih tak percaya bahwa ini akhir dari penantian delapan tahunnya. Bukan pelaminan. Melainkan hanya membangun bahtera megah tanpa bisa dilepas ke lautan. Sia-sia. Delapan tahun yang Nadia sia-siakan.

🍁🍁🍁🍁

10022017

Penantian BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang