06 • Si Sulung dan Pria Berkacamata

18.6K 2.2K 59
                                    

Bungsu yang katanya posisi paling diminati itu rasanya tak berlaku bagi Nadia. Terlahir terakhir setelah tiga kakaknya juga tak membuat Nadia kebanjiran kasih sayang. Dua hari tinggal di bawah atap yang sama, tak menggugah banyak suara dari Nadia dan si sulung. Kalaupun bertemu mereka saling memasang wajah acuh. Yang tua tak berniat mengayomi, yang muda segan untuk mendekati.

Jangan tanya bagaimana dan kenapa bisa hubungan mereka menjadi sedingin kutub seperti ini. Yang pasti ia sudah tak akrab dengan kakaknya sejak kecil. Mas Arifin dan Mas Adit mencapai umur belasan saat Nadia lahir. Mereka terlalu sungkan untuk sekadar bergembira akan kehadirannya di tengah-tengah keluarga. Maka yang mereka lakukan hanya terus acuh. Tak menolongnya saat menangis, apalagi mengajak ia bermain. Itu mustahil. Hanya Mbak Salma yang sedia mengajaknya menghabiskan siang. Itu pun jarang, itu pun juga berkat paksaan ibu.

Jadi Nadia tidak heran dengan keluarganya yang sekarang. Saling acuh satu sama lain. Tak ada agenda kumpul bersama, kecuali saat lebaran. Itupun kalau mereka tak memilih berlebaran di rumah mertuanya dibanding Ibunya yang sendiri nan kesepian ini. Entah siapa yang salah? Bapak yang tak pernah mengajak mereka sekadar makan malam bersama, atau darah egoisme yang mengalir erat dalam pribadi masing-masing.

"Pagi-pagi udah ribut. Masak apa kamu Nad?"

"Tumis pare ayam."

Mbak Mei tak akan pernah tersinggung sekalipun jawaban Nadia terdengar malas juga tak peduli. Seperti Mas Arifin yang tak pernah membuka diri untuk akrab bersamanya, Mbak Mei melakukan hal yang sama. Barangkali bagi mereka Nadia hanya sekadar keluarga luar. Tak seerat keluarga kecilnya. Nadia juga tak pusing ingin dianggap.

"Itu kan pahit. Dania nggak doyan."

"Aku udah bikin ayam kentaki untuk Dania."

"Itu aja? Sayurnya nggak ada?"

"Aku buru-buru mbak. Kalau memang Dania mau lauk sayur, nanti kubelikan di depan."

"Nggak usah lah. Aku masak sendiri nanti."

Bagus, kalau begitu. Nadia tak perlu repot-repot lagi. Dua hari menghabiskan akhir pekan mereka di rumah ini, tak ada yang dilakukan oleh kakak iparnya ini selain duduk-duduk di depan televisi. Nadia tidak pernah protes, tak pernah minta dibantu. Melihat Mas Arifin bisa mengajak Ibu bercakap-cakap saja sudah cukup untuk Nadia.

"Kurang asin ini. Masakanmu juga nggak pernah ada rasanya. Yakin udah kamu kasih garam." cibirnya. Seolah ia tak pernah peduli pada perkembangan kondisi Ibu.

"Udah, tapi sedikit."

Mei menghela napas. Sepertinya sedikit tak cocok dengan rasa masakan ini. Lagi-lagi Nadia tak peduli. Ia masak untuk Ibu, keluarga Mas Arifin tak perlu ia pikirkan banyak-banyak. Toh mereka banyak uang, mereka bisa membeli apapun yang mereka kehendaki. Seperti kemarin. Nadia melihat sampah plastik berlogo restoran padang di dalam bak. Ibu pasti hanya menyaksikan. Tak berani mencoba, pasti dilarang juga oleh Mas Arifin.

Pare ayam itu sudah layu, bercampur dengan sedikit rasa yang hambar. Disajikan dalam sebuah mangkok kecil, lengkap dengan ikan bandeng yang sudah Nadia rebus bersama kunyit sebelumnya. Lagi-lagi ikan itu juga hambar. Setiap harinya Nadia makan seperti ini, Mas Arifin ataupun kakaknya yang lain mana paham akan kesakitan Nadia. Mereka bisa makan dengan enak, bukan masakan yang itu melulu. Mereka bisa tidur hingga nyenyak, tak perlu mendengar ibu yang mual-mual tiap saat. Mereka hanya tahu ibu butuh uang banyak. Mereka menutup mata bahwa ibu juga butuh teman untuk sekadar menghabiskan sisa waktunya. Nadia selalu ingin menghantam tembok jika mengingat ini.

"Tante nangis??"

Nadia tertegun mendengar suara itu. Buru-buru ia mengusap air mata yang lolos dari sangkarnya. Bahkan ia tak sadar telah menangis. Menggeleng, menyunggingkan senyum kecil untuk keponakannya.

Penantian BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang