11 • Dia Yang Menawarkan Kepastian

15.9K 1.9K 171
                                    

"Bisa bicara?"

Oke. Nadia benar-benar gugup sekarang. Jangankan untuk bersuara, sekadar mengangguk pun ia berpeluh terlebih dahulu.

"Di sini?"

"Jangan." Dokter Dirga menggeleng, lalu diam. Tampaknya sedang mencari tempat yang pas untuk bicara, "di taman saja. Dekat air mancur."

Nadia menyanggupi. Hampir ia berdiri, namun beban berat dipangkuannya membuat ia terlanjur mengakar di kursi. Ia tatap wajah cantik Melati yang tengah berbinar-binar. Senyum di bibir mungilnya mengembang. Dasar. Keturunan Mamanya yang centil.

"Heh, jangan genit." ujar Nadia geli. Ia cubit gemas hidung bangir itu.

Melati cekikikan. Ia kubur wajah merahnya di pelukan sang Tante, "om Dokter ganteng." gumamnya. Entah siapa yang mengajarkan anak umur 5 tahun untuk pandai dalam hal menilai wajah seperti ini.

"Ada keponakan saya, Dok."

Wajah Dokter Dirga tetap datar. Wajah penuh senyum ramah itu entah hilang ke mana. Bibir yang biasa dihiasi senyum itu benar-benar dingin hari ini. Sepertinya pria itu benar-benar tersinggung dengan kelakuan ia dan Nara tempo hari.

"Saya tunggu di sana." pungkasnya lalu berbalik pergi. Menyapa Melati yang terkagum-kagum padanya saja enggan.

Nadia mencibir tanpa suara pada punggung berbalut jas putih bersih itu. Ia ikuti hingga Dirga hilang di balik tikungan lorong. Apa Ria bersungguh-sungguh dengan segala ucapannya tempo hari?

"Yah... Om ganteng pergi."

Gumaman Melati benar-benar menjadi hiburan tersendiri untuk Nadia, "ganteng mana sama Om Nara?"

Melati sedikit berpikir. Mengusap hidung mancungnya, "Ganteng Om Dokter."

"Om Nara bisa ngambek loh Mel. Nggak dapat coklat lagi nanti kamu." Nadia tertawa. Ia tidak bercanda. Nara benar-benar akan kebakaran jenggot kalau mendengar Melati memuji pria yang terlanjur dinobatkan sebagai saingan.

"Ssst. Jangan bilang Om Nara ya Tante?" rayunya, "Mel peluk deh." tambahnya memanjat paha Nadia. Merangkulkan lengan kecilnya di sana.

Nadia tak bisa menahan kekehannya. Anak kecil memang polos, polahnya selalu memiliki sisi humoris yang tak bisa ditampik. Tawa Nadia berhenti tatkala ia merasa dipandangi oleh banyak mata. Terang saja, semua yang menunggu di kursi ini tengah bersedih. Dan Nadia masih sempat tertawa lebar di sini. Mungkin mereka iri. Mungkin juga mereka terganggu.

Dan Senyuman Nadia benar-benar tanggal saat melihat kakaknya muncul dari ujung lorong. Bibirnya kembali membentuk segaris datar. Melati ia pangku dengan sangat kaku. Sekali lagi, Salma menawarkan ia sebotol air dingin. Sekali lagi pula, Nadia menggeleng halus. Tak perlu risau jika Salma akan tersinggung. Mereka sudah lama terlibat dalam situasi seperti ini. Yang terjadi selanjutnya hanya saling acuh.

Nadia ingat ia masih punya janji. Maka ia buru-buru menurunkan Melati yang sudah berkutat dengan snack nya dari pangkuan.

"Melati duduk di sini sama Mama ya..."

"Ikut Tante..."

"Ndak boleh Mel. Di sini saja ya?"

"Mau ke mana?" Salma ingin tahu juga.

"Ke kamar mandi."

"Ketemu dokter ganteng, Ma."

Mulut anak kecil memang terlalu jujur. Nadia mendapat tatapan bertanya dari Salma. Seakan Nadia peduli saja. Sekali lagi Nadia membujuk melati. Lalu akhirnya bocah lima tahun itu melepasnya juga dengan ancaman akan membocorkan rahasia tadi pada Nara. Melati sangat sayang pada coklat rupanya.

Penantian BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang