Daisy dan Lily

37.3K 2.8K 209
                                    

Dua malaikat kecil dari surga itu tumbuh dengan sehat. Nadia dan Nara merawat mereka bak butiran emas yang bisa dianak pinakkan kemudian hari. Berhati-hati, penuh dengan rasa cinta. Dari dalam rumah ajaib mereka ini, keduanya sering tersipu malu saat mendengar pujian anak ayah yang cantik, anak Bunda yang manja, atau bahkan adek kakak Melati yang jelek sekalipun. Sesekali mereka seperti dininabobokan oleh usapan lembut pada kulit rumah mereka. Sering juga mereka merasakan kecupan dalam, entah dari siapa. Yang pasti mereka senang tinggal di rumah ini. Rumah gelap, namun memberinya kehidupan.

Keduanya juga tidak kenal kata bosan. Memiliki teman dalam satu rumah membuat mereka tidak pernah merasa kesepian. Ada teman berebut makanan. Ada teman saling berdesakan. Ada teman terkikik geli. Pun ada teman untuk saling adu tendangan. Yang terakhir, membuat Nadia sering kali mengeluh.

"Aduh, Nak. Jangan keras-keras ya? Bunda sakit."

Seketika bibir mereka memberengut samar. Benarkah mereka menyakiti Nadia? Aduh. Padahal Nadia sudah sangat baik memberi mereka rumah, memberi mereka makanan, bahkan memperdengarkan sebuah dentingan nada yang indah, lalu sperti ini balasan mereka? Tidak tahu diri bukan?

Maka mereka berusaha membatasi gerak mereka yang pecicilan. Namun semua serba salah. Saat mereka diam, katanya mereka dirindukan. Katanya tendangan yang menyakiti itu kembali ditunggu-tunggu datangnya.

"Hei, kenapa kalian diam? Di cari Ayah nih." Ini jelas suara Nadia, namun keduanya tetap tidak akan memberikan tendangan. Mereka sayang Nadia, mereka tidak ingin menyakiti Nadia lebih banyak.

"Ngambek ya?" sekarang suara Nara. Usapan lembut di sekujur rumah mereka, membuat keduanya hampir luluh, "Bunda ngomong apa sama kalian, hm? Bunda sudah sehat sekarang. Nggak pusing lagi kayak semalam, jadi sudah boleh kalau kalian mau nendang lagi. Ya kan, Bun?"

"Iya." Jawab Nadia kecil. Usapan lembut kali ini terasa dua kali lebih halus, "Bunda nggak sakit lagi sekarang. Bunda kangen tendangan kalian. Ayah juga. Lihat, pipinya nempel terus di rumah kalian. Tendang, Nak. Yang keras, biar Ayah mental dari ranjang sekalian."

"Jahatnya..."

Suara tawa itu menembus pori-pori kulit. Berkeliling di sekitaran rumah dua malaikat kecil. Keduanya bertukar pandangan, mengedip sekali lalu menciptakan dua tendangan yang saling bersahutan. Bug bug...

"Aduh, cantik. Kerasnya. Kalau pipi Ayah memar gimana?"

Mengimbangi deraian tawa Nadia dan Nara, dua malaikat kecil ini pun ikut bergabung dalam sebuah suasana bahagia. Mungkin mereka masih berbeda dunia, tapi orang bilang mereka sudah memiliki ikatan sekuat baja. Tunggu sebentar lagi, dua malaikat kecil ini akan menyapa dunia yang Nadia dan nara tempati.

***

Seluruh kebutuhan untuk bisa hidup bersama Nadia dan Nara sepertinya sudah terlengkapi dengan sempurna. Sepasang kaki lemah, namun seringkali dipuji kuat oleh Nara. Sepasang tangan kecil, yang kadang kala digunakan untuk meraba juga merasai dinding rumah. Sepasang mata yang senantiasa terpejam. Hati, ginjal juga organ pernapasan dari hidung hingga sepasang paru-paru, rampung dibentuk. Jantung mereka pun sudah ada, sudah berdetak sangat keras. Semua sudah lengkap.

Kian hari, rumah mereka yang gelap namun nyaman itu tak lagi memberikan hal yang sama. Sekarang rumah ini jadi sempit, lebih pengap dari sebelumnya. Mungkin karena mereka rakus menyerap sari dari tubuh Nadia, hingga berakhir sebesar sekarang. Rumah ini sudah tidak lagi nyaman. Rumah ini seperti mencekik mereka hingga susah bernapas.

Itu mengapa mereka melakukan protes—entah pada siapa. Bergerak ke sana ke mari, hingga menimbulkan kontraksi hebat untuk Nadia. Mereka ingin keluar. Rumah ini seperti tak lagi disambangi udara untuk mereka bisa bertahan hidup.

Penantian BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang