23 • Perginya Sang Penghalang

18.5K 2.1K 269
                                    

Ini yang diharapkan oleh Nara. Nadia yang akan melanjutkan hidup yang sempat tertunda. Tidak peduli jika Nara tak ada bersamanya, Nadia tetap harus melangkah ke depan. Ini adalah hal pertama yang harus Nadia lakukan sekarang. Mengatur ulang rencana pernikahan yang pernah digadang pelaksanaannya.

Ketukan ujung flat shoesnya pada lantai mengindikasikan seberapa banyak rasa bosan melanda Nadia. Harusnya, Nadia mengabari Dirga lebih dulu tentang niatnya berkunjung. Tak perlu bersusah payah membuat misi kejutan, karena toh hasilnya Nadia mendapatkan zonk. Tidak ada pria itu di ruangannya.

Menurut perawat yang bertugas tadi, Dirga dan beberapa dokter lain terlibat dalam sebuah rapat internal rumah sakit. Sudah dari beberapa jam yang lalu, diprediksi akan selesai bersamaan dengan waktu makan siang. Nadia mengangkat lengannya tinggi-tinggi, matanya melirik jam putih yang melingkari pergelangannya. Masih 10 menit menuju jam 12. Lumayan lama, dan Nadia benar-benar bisa mati bosan sebentar lagi.

"Nadia..."

Ah, itu suara Dirga. Nadia mengangkat kepala. Berusaha menerbitkan sebuah senyum yang tulus. Ia harus menuruti semua ucapan Nara. Termasuk berusaha mencintai pria ini. Kelak, Nadia juga akan terbiasa.

"Kamu di sini?" tanya pria itu seraya menghampiri Nadia. Raut terkejutnya masih saja tak bisa disembunyikan. Hingga Dirga telah berakhir duduk di kursi tepat di sisinya, pria itu masih sempat mengucek dua matanya ragu, "aku nggak mimpi?"

Nadia menggeleng dengan sebuah tawa geli, "aku udah baik sekarang. Maaf, karena sering ngusir Mas dulu. Nggak marah kan?" bibir Nadia berubah mengulum senyum sendu.

Dirga tersenyum tipis, menggeleng lemah. Lega berjalan berdampingan dengan sedikit kecewa yang menyeruak. Tentu saja ia senang mengetahui Nadia sudah kembali di sini. Terlihat baik, dengan dua mata yang berpendar penuh semangat. Pipinya sudah lebih berisi di banding sebulan lalu. Jangan lupakan senyum yang mampu merekah sempurna. Tapi jelas ada sedikit sentilan pada jantungnya, kala mengetahui seberapa tidak bergunanya ia.

"Syukurlah. Tapi beneran sudah sehat?"

"Sudah. Badanku nggak pernah sebugar ini sebelumnya. Aku rajin jogging sekarang dong."

"Pertahankan," Dirga tersenyum kecil. Pandangannya jatuh pada sebuah paper bag yang nadia simpan di sisi yang lain, "kamu bawa apa?"

"Oh ini," senyum lebar nadia masih tersungging, "seseorang bilang, aku nggak boleh makan sendirian. Jadi sekarang aku mau ngajak Mas Dirga makan siang bareng. Mau kan?"

Dirga paham siapa seseorang yang Nadia maksud. Yang cukup dipikirkan saja terus membuat bibir Nadia melengkung indah. Ingatannya berjalan mundur. Sakit di rahangnya masih segar dalam benak. Segala yang Nara ucapkan sore itu tak pelak membuat Dirga paham kapasitasnya. Ia si pengecut. Ia tak sama sekali sepadan dibandingkan dengan Nara. Ia jauh tertinggal.

"Mas belum ada janji sama yang lain kan?"

Pria itu tergagap dalam sesaat. Kepalanya tergeleng, meski otaknya mengingatkan bahwa ada seseorang yang mengajak ia makan siang bersama sebelumnya. Yang hanya ia dengar, belum mampu ia jawab. Biarlah. Nadia lebih penting sekarang.

"Ke ruanganku aja kalau gitu. Atau mau di kantin saja?"

"Di ruangannya Mas aja deh. Bisa jadi pusat perhatian kalau makan di kantin."

Dirga tertawa. Meraih paper bag yang Nadia bawa dalam genggaman tangan kiri. Berjalan berdampingan dengan Nadia di sisinya. Andai ada yang tahu, Dirga diserang dilema sekarang. Hingga keduanya berakhir duduk di sofa, dan Nadia dengan lincah menyiapkan makanan, Dirga tetap memilih mengunci bibir. Otaknya bercabang. Di sini, dan di tempat lain. Pada Nadia dan pada yang lain.

Penantian BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang