03 • Madu di Sudut Bibir

27.9K 2.6K 39
                                    

Tommy dan Bintang sedang menemani dua calon pembeli mobil dengan ramah lagi luwes. Keduanya menjelaskan detil mobil dengan lihai. Membuat calon pembeli itu terpaut adalah tujuan mereka. Tak ada maksud menipu, sekalipun bekas semua kendaraan yang masuk ke dalam show room milik Nara sudah dipastikan dalam kondisi yang baik. Bukan bekas kecelakaan atau pernah terendam banjir sebelumnya. Nara selalu mendapatkan mobil-mobil ini dari tangan pertama. Dia selalu turun tangan memastikan sekali lagi kondisi kendaraan, hingga deal itu benar-benar terjadi. Jadi sekali lagi, Nara layak dipercaya.

"Boss, ada calon pembeli lagi."

Kepala Nina muncul dari balik pintu. Gadis dua puluh dua tahun itu nyengir lebar. Tak ada sekali rasa hormatnya pada pria yang baru saja ia panggil 'boss'. Baiklah. Jangan salahkan Nina, Nara sendiri yang selalu memperlakukan seluruh karyawannya dengan apik. Tak melulu sebagai anak buah, benar-benar sebagai rekan kerjanya. Tapi jangan harap Nara akan bersikap sama saat kepalanya sedang panas dengan masalah. Berani bercanda, maka habislah telinga mereka oleh teriakan.

"Tommy belum selesai?"

"Belum boss. Bintang juga belum."

Map tentang beberapa mobil yang ditawarkan padanya dari sebuah bengkel sahabatnya itu tertutup. Nara menyimpan ponsel ke dalam saku celana bahannya. Melangkah menuju show room yang lumayan ramai sepagi ini. Nina yang bertindak sebagai staff administrasi saja ikut turun tangan menemani calon pembeli menemukan mobil yang mereka kehendaki. Jika keempat calon pembeli ini deal semua hari ini, Nara traktir pizza untuk mereka seminggu penuh.

Netra Nara berputar, mendapati seorang wanita—barangkali—sebaya dengan Nadia tengah memindai sebuah mobil. Telunjuknya berusaha mencari keberadaan debu yang sepertinya akan sulit wanita itu dapatkan. Setiap pagi mobil ini di lap. Jadi maaf telah mengecewakan.

"Selamat pagi." Nara mulai menyapa dengan suara berat khas pria. Memberikan senyum ramahnya.

Wanita itu memutar tubuh, menegakkan punggung. Memindai Nara dari ujung sepatu hingga rambutnya. Nara selalu berpenampilan rapi, jangan cari di mana cacatnya. Jika urusan wajah, belum pernah ada yang menghinanya buruk rupa. Kecuali kekasih cantiknya itu. Dari jelek hingga dekil, Nara terima dengan senyuman. Cinta memang buta. Kembali pada wanita yang terus saja meneliti tubuhnya. Ujung bibirnya yang merah membentuk sebuah senyuman. Ah. Nara jadi sangsi akan maksud dan tujuan wanita ini mengunjungi show roomnya.

"Anda pemiliknya?"

"Ya. Saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?"

"Kabar yang beredar benar ya?"

Alis Nara menukik, "Maaf. Kabar apa?" jangan bilang fitnah dari pesaingnya.

Wanita itu menyelipkan rambut ke balik telinga, masih saja memamerkan senyum manisnya. Kalau Nara boleh berbesar kepala, wanita dengan setelan kantor yang tampak cantik membalut tubuh tinggi semampainya itu tengah tebar pesona padanya. Sayang sekali, tak akan pernah berhasil.

Bukan karena wanita ini jelek. Nara tak ingin munafik dengan mengatakan wanita ini kalah oleh Nadia. Wanita ini dua tingkat di atas Nadia. Cantik pun kelihatan berkelas. Mata boleh menilai seperti itu, tapi hati Nara sudah terlanjur tergila-gila pada tampilan sederhana milik kekasihnya. 

"Teman-teman kantorku bilang pemilik show room ini tampan. Benar rupanya." ujar wanita itu lalu terkikik.

Nara menanggapi dengan sebuah senyum ringan. Terlalu malas meladeni, Nara membawa pembicaraan ini menuju arah yang seharusnya.

"Jadi ada yang bisa saya bantu?"

Tampak sekali wanita itu terpancing kesalnya, "saya cari mobil yang bagus tapi murah."

Penantian BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang