21 • Hadirmu Serupa Damar

16.8K 2.1K 271
                                    


Sakitnya luar biasa sangat. Setiap kali menarik napas, seperti ada ribuan jarum yang ikut terhirup. Menusuk senti demi senti kerongkongan hingga paru-paru Nadia. Sakitnya luar biasa menyiksa. Dari hati hingga seluruh sel-sel terkecil. Di dalam sana remuk tak lagi berbentuk.

Nadia menghela napas dengan segenap usaha. Menekuk kaki, menyandarkan dagu di atas lututnya yang keras. Mata Nadia nyalang menatap kaca jendela yang berembun. Di luar sana rerintik hujan terus berarak membasahi bumi. Sudah dua hari hujan itu turun tanpa henti. Seolah, Tuhan tengah berbaik hati memberi Nadia teman untuk menumpahkan segala rasa sedihnya. Setelah Tuhan mengambil seluruh yang Nadia sayang, Tuhan menurunkan jutaan titik hujan. Bukankah itu menganggumkan? Bukankah sudah jelas betapa Tuhan begitu adil kepadanya? Bibir Nadia tertawa, matanya menangis.

Bunyi pintu yang disingkap, tak sama sekali mengalihkan mata Nadia. Sisi kasurnya yang bergerak juga tak menggugah rasa ingin tahu dari gadis itu. Sungguh. Tidak ada lagi yang menarik di dunia ini.

"Mbak masak cumi tadi. Makan ya?"

Rupanya Salma. Di antara semua kakaknya wanita ini yang paling keras kepala. Berulang kali Nadia bilang ingin sendiri, tak ingin diganggu. Berulang kali pula Salma terus merangsek masuk, mungkin telinganya sudah bermasalah. Nadia sudah mengunci pintu, dan Mas Aditya malah dengan sengaja mencongkel pintu itu dari luar. Mereka harusnya tahu perasaan Nadia. Dia hanya ingin Tuhan tersenyum di atas sana, karena melihat ia benar-benar seorang diri di kamar yang temaram ini.

"Taro saja mbak. Nanti Nadia makan."

Salma menggeleng. Dua hari ini Nadia terus membohonginya. Nasi yang Salma tinggalkan, tetap utuh tak tersentuh.

"Mbak suapin. Buka mulutmu."

"Aku bukan anak kecil."

"Satu atau dua sendok saja."

"Aku nggak laper mbak."

"Perutmu udah nggak terisi nasi selama 2 hari. Gimana bisa kamu tetep nggak laper?"

"Mati rasa. Aku nggak bisa ngerasin apapun lagi."

"Jangan gitu. Makan ya?"

"Aku beneran nggak lap—."

Teramat emosi membuat Salma membanting piring itu keras. Terpecah berserakan di atas lantai. Nadia memegang jantungnya yang terkejut. Air mata yang mengering itu kembali merembes keluar melihat Kakaknya kembali menangis.

"Nggak usah makan selamanya, biar kamu cepatan mati nyusul ibu. Itu kan yang kamu mau???" Salma berteriak, "egois kamu Nad. Mbak juga sedih ditinggal ibu. Kamu bikin Mbak makin sedih karena lihat kamu kayak gini."

Seluruh tubuh Nadia bergetar. Paru-parunya kembang kempis merasakan sesak. Ia ketakutan pada kemarahan Salma. Hingga Salma ditarik keluar oleh suaminya pun, Nadia masih bergeming kaku. Gadis itu seolah tak memiliki nyawa yang lengkap.

Barulah saat pintu tertutup, isakan Nadia melonglong keluar. Tertatih, Ia mencoba menggapai lantai. Berusaha mempersihkan pecahan beling yang berserakan dengan dua tangannya yang bergetar. Nadia tak henti merutuk. Tak henti menyalahkan dirinya sendiri. Mengapa ibu tak mengajaknya pergi bersama pagi iti? Mengapa Tuhan tak mengambilnya saat itu juga? Nadia lelah Tuhan. Lelah.

"Nadia—"

Disaat terpuruknya seperti sekarang, Nadia jelas akan kembali berhalusinasi. Tak mungkin ada Nara di rumah ini. Tak mungkin ada pekikan khawatir dari suara Nara yang kembali menyusup di telinganya. Nadia memejamkan mata, berusaha keras mengusir bayangan Nara.

"Jangan disentuh lagi. Kamu bisa terluka."

Tangan besar itu menepis tangannya menjauh dari pecahan beling. Batin kecilnya tersenyum pongah kala yakin bahwa kulit Nara lah yang baru saja bersinggungan dengan kulitnya. Sedang akalnya memperingatkan tegas. Jangan bermimpi, desiran itu juga tak lebih dari sebuah halusinasi.

Penantian BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang